Kamis, April 02, 2009

Sebuah Makna tentang Lugu

Ketika aku kecil, kisaran umur 5 tahun, dalam artian aku sudah bisa memahami cukup serius apa yang dikatakan oleh orang-orang sekitarku, ada sebuah rutinitas. yaitu membaca alfatihah setiap aku melewati makam almarhum ayah, yang kebetulan berada dipinggir jalan kami ketika menuju rumah,apabila pergi atau pulang bepergian. begitu terus ibu menyuruh kami, tiga bersaudara, pun setiap selesai shalat atau teringat ayah, ibu terus menyuruh kami berdoa, atau minimal membacakan al Fatihah. rutinitas itu sudah mendarah daging, bahkan sampai saat ini. ibu selalu bilang, setiap kita,-ibu, aku dan saudara2ku- mengucapkan al Fatihah, akan menambah satu lampu untuk menerangi alam kubur ayah. pikiranku waktu itu....hebat sekali, hanya dengan al Fatihah kubur ayah terang, lalu terbayang lah di imajinasiku, setiap ku selesai membaca amin, nyala lah satu lampu di langit-langit kuburan ayah, dan kuburan ayah jadi benderang seperti ruang tamu di rumah, dan tampak pula dalam imajinasiku ayah tidur nyenyak dengan pasokan cahaya yang cukup.
imajinasi ini lambat laun berkembang, aku jadi berpikir, bahwa lampu yang di aliri listrik harus di bayar tagihannya tiap bulan, berarti lampu kubur ayah harus tetap diperbarui dengan sering-sering membacakan alfatihah buat beliau. aku jadi semakin rajin dan tergambar lagi betapa bertaburannya lampu di langit-langit kubur itu.
sekarang, aku sudah menginjak usia 22 tahun. dewasa. rutinitas mendoakan ayah tetap berlanjut, namun imajinasi konyol itu tentu lama-lama terkikis, karena selama rentang waktu sekolah, pemahaman tentang kubur, otomatis sudah diluruskan. aku berpikir, betapa lugunya masa kecil, betapa alaminya pemikiran ini, dan betapa semangat dan tulusnya aku waktu itu yang ingin ayah senantiasa tidur nyenyak.