Selasa, Desember 15, 2009

Dan Allah pun pasti menepati janji

dulu, ku terbiasa tersenyum tenang walau hati ini menangis.
tapi ternyata, itu tak selamanya baik. tak selamanya benar.
tenang, diam, dengan alasan menghindari api ternyata tak selamanya benar.
justru dia memunculkan api yang langsung menohok ulu hati, dan gawatnya, sulit terpadam saking jauh dan mengakar sumbernya.

justru keterusterangan dengan niat tulus kan menitikkan gerimis-gerimis yang kan mengguyur gersang dinding jiwa, meski perlahan, meski butuh waktu.

tak hanya satu jiwa, namun jiwa-jiwa lain yang berhubungan dengan kegersangan itu.

justru dengan keterbukaan tulus kan menyingkap jawaban atas ribuan kemengapaan yang selama ini terbungkam rapat di satu ruang keangkuhan.

justru harapan-harapan harus disampaikan agar semuanya jelas da bisa ditanggapi dengan bijak, dan apapun keputusannya nanti, kaki ini kan teguh menjalani

memang doa harus diserta ikhtiar

AlhamduliLlah,,, Kau buka lagi, kau curah lagi satu hikmah ya Rabb...
tarbiyahi terus jiwa-jiwa kami...

dan ku pun tersenyum tenang walau hati ini tertawa

Selasa, Desember 01, 2009

BAB II (D&E)

D. Macam-Macam Hasil Usaha Profesi Yang Wajib Zakat
Secara umum, hasil usaha profesi yang wajib dizakatkan adalah seluruh usaha-usaha yang baik-baik, baik bersifat perorangan ataupun kelompok. Jika diklasifikasikan, terdapat 2 kelompok hasil usaha profesi yang wajib zakat:
1. Pekerjaan/usaha yang dikerjakan sendiri, tidak terikat dengan negara atau orang lain, berkat kecekatan tangan atau otak.
Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dikenal dengan wiraswasta.

2. Pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang untuk pihak lain.
Pihak lain yang dimaksud seperti orang yang pekerjaannya terkait dan terikat dengan pemerintah, yayasan atau badan usaha umum. Orang-orang tersebut berkerja dengan tenaga ataupun otak. Penghasilan dari pekerjaan seperti ini berupa gaji, upah ataupun honorarium.
Dari dua kelompok jenis usaha profesional di atas dikenai kewajiban zakat, apabila orang dan harta hasil usahanya telah memenuhi kriteria sebagai wajib zakat yang telah diuraikan sebelumnya.
E. Pengelolaan Zakat
1. Sejarah Pengelolaan Zakat
Zakat merupakan kewajiban individu, namun dalam pelaksanaannya terdapat wewenang atau campur tangan orang lain untuk memungutnya. Hal ini diperoleh dari isyarat dalam firman Allah surat at-Taubah ayat 60:
                        

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Kata amil zakat yang dimaksud dalam ayat di atas adalah para pengurus zakat. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa pengambilan zakat dilakukan oleh imam, karena jika pemilik harta kekayaan di perbolehkan mengeluarkan zakatnya sendiri-sendiri, tidaklah diperlukan pengurus atau panitia pemungut zakat. Maka keberadaan amil berperan sebagai pengurus zakat.
Amil (panitia zakat) adalah orang-orang yang bekerja memungut zakat. Wahbah al Zuhaily dalam kitab fiqihnya mengkategorikan panitia (amil) zakat sebagai berikut:
a. Al ‘asyir, yaitu orang yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh.
b. Al katib, yaitu penulis.
c. Pembagi zakat untuk para mustahiq dan penjaga harta yang dikumpulkan.
d. Al hasyir, yaitu orang yang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan atau orang-orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat.
e. Al ‘arif, yaitu orang yang ditugasi menaksir orang yang telah memiliki kewajiban untuk berzakat.
Jadi, amil memiliki tugas yang menentukan bagi tersalurnya zakat mulai dari siapa yang wajib mengeluarkan sampai pada orang yang berhak mendapatkannya.
Pendapat mengenai tugas amil ini didukung oleh firman Allah surat at-Taubah ayat 103:
          •        

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Ayat ini merupakan perintah terhadap Rasulullah SAW untuk mengambil zakat dari para orang kaya. Dalam sejarah, penetapan tentang pengelolaan zakat ini belum terlaksana dari awal diwajibkan zakat, namun melalui beberapa tahap, yaitu:
1) Tahun 2 Hijriah, mulai difardhukan zakat bersamaan dengan turunnya perintah zakat dan penegasan dan golongan yang berhak menerima zakat.
2) Tahun 5 Hijriah, Rasulullah mengumumkan ke seluruh daerah tentang kewajiban membayar zakat bagi orang kaya.
3) Tahun 9 Hijriah, mulai adanya campur tangan pemerintah tentang pengelolaan zakat yaitu pengiriman sahabat untuk mengumpulkan zakat dari Tsa’labah dan kaumnya.
Selanjutnya, dalam sejarah sahabat yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shidiq, pemerintah bertindak tegas dengan menyatakan perang bagi orang-orang yang enggan membayar zakat, pemerintahan Abu Bakar bahkan menyatakan bahwa yang enggan berzakat sama dengan orang yang murtad.
Lalu, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, pengelolaan zakat oleh pemerintah terus berlangsung dan ditandai dengan berdirinya baitul mal. Pengelolaan zakat oleh pemerintah terjadi sampai pada masa pemerintahan Ustman Bin Affan, walaupun terhenti pada masa sahabat, namun dalam periode-periode berikutnya seperti pada dinasti Umayyah, Mu’awiyah selaku khalifah melakukan pungutan zakat langsung terhadap rakyatnya.
Dari beberapa riwayat dan dikuatkan oleh dalil-dalil di atas, dapat kita simpulkan bahwa penunjukan pengurus zakat amatlah penting, tapi ada pula ayat yang memberikan indikasi bahwa pemilik harta kekayaan dapat membagikan sendiri zakatnya kepada para mustahiq, yaitu: QS. al-Ma’arij ayat 24-25
    •    

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)

Ayat diatas menjelaskan bahwa dalam harta kekayaan seseorang terdapat hak orang miskin yang meminta dan yang tidak mau meminta. Jadi, pemilik harta boleh memberikan zakat secara langsung.
Berdasarkan ayat-ayat diatas, para ulama merinci penjelasan tentang pembagian zakat, yaitu:

a) Pembayaran zakat diserahkan kepada pemilik harta.
Hal ini diberlakukan jika harta yang akan dizakatkan itu tersembunyi seperti emas, perak, barang dagangan yang disimpan di gudang, dan lain-lain. Namun para pemilik harta harus mengetahui siapa yang berhak menerima zakat dari hartanya, yaitu termasuk mustahiq zakat. Jika tidak, maka hendaknya zakat di serahkan pada amil, supaya kewajiban pemilik harta terlaksana dengan semestinya.
b) Zakat dibayarkan melalui imam (menurut jumhur, yaitu pengikut mazhab Hanafi dan Maliki).
Hal ini diberlakukan jika harta yang hendak di zakatkan tersebut kelihatan, seperti binatang ternak, buah-buahan dan lain-lain. Karena imam yang faqih akan bisa menentukan kadar zakat yang akan dikeluarkan.
Dari dua hal diatas, walau bagaimanapun penyerahan zakat tetap ditentukan oleh pemilik harta. Aturan-aturan di atas, mengenai amil adalah bertujuan supaya besar zakat yang dikeluarkan dan pihak-pihak yang menerima benar menurut syariat.
2. Badan Amil Zakat Sebagai Pengelola Zakat Di Indonesia
a. Latar Belakang Pendirian Badan Amil Zakat
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk menganut agama Islam. Dalam kondisi nasional, seluruh komponen bangsa di tuntut untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk umat Islam yang mayoritas di Indonesia. Hal ini tidak hanya menjadi tuntutan bangsa, namun secara substansi, ajaran Islam juga memerintahkan para muslim untuk membangun umat dan bangsanya.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pembangunan adalah biaya, khususnya bagi Indonesia sebagai negara berkembang. Indonesia sulit untuk menggali biaya dari potensi sendiri dengan pemberdayaan potensi ekonomi. Maka, substansi ajaran Islam memberikan solusi terhadap masalah ini, dengan adanya mekanisme yang bisa digunakan untuk pemberdayaan ekonomi umat, yaitu melalui pranata zakat, infak dan shadaqah.
Dalam Islam, pranata zakat infak dan shadaqah memberikan dukungan paling besar bagi pertumbuhan ekonomi umat, mulai berkembang sejak disyariatkan pada masa Rasulullah SAW dan berlanjut hingga dinasti Abbasyiah. Pengefektifan zakat infak dan shadaqah ini di wadahi oleh lembaga yang bernama baitul mal. Namun dewasa ini khususnya di Indonesia umat Islam sangat asing dengan baitul mal. Maka didirikanlah Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah (BAZIS) untuk membangkitkan kembali semangat baitul mal berdasarkan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Pelaksanaan terhadap undang-undang ini selanjutnya di atur dalam keputusan menteri Agama Republik Indonesia No 373 tahun 2003.
b. Pengertian Badan Amil Zakat.
Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) atau sekarang disebut dengan Badan Amil Zakat (BAZ) saja, adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur-unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Objek yang menjadi sasaran dalam penerimaan dan pengumpulan oleh Badan Amil Zakat selain zakat adalah infak dan shadaqah. Jika zakat merupakan shadaqah wajib yang dikeluarkan dari harta tertentu, maka infak adalah sebagian harta seseorang yang dikeluarkan untuk kepentingan umum tanpa memperhatikan nisab dan haul. Sedangkan shadaqah adalah sebagian harta seseorang yang beragama Islam yang dikeluarkan untuk kemaslahatan umat Islam.
c. Prinsip-prinsip Pengelolaan pada Badan Amil Zakat.
Prof. H. A. Djazuli mengemukakan 5 prinsip dalam pengelolaan zakat supaya lebih berdaya guna dan berhasil guna, yaitu:
1) Prinsip keterbukaan
Sebagai pengelolaan zakat, Badan Amil Zakat harus melakukan tugas pengelolaan secara transparan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan umat Islam pada lembaga ini, bahwa harta yang telah di berikan memang telah disalurkan kepada golongan yang berhak menerimanya. Apabila hal ini tidak dilakukan secara terbuka maka kepercayaan masyarakat terhadap Badan Amil Zakat akan berkurang sehingga muncul keengganan untuk menyalurkan zakat ke Badan Amil Zakat.
2) Prinsip sukarela
Prinsip sukarela berarti dalam pemungutan zakat, Badan Amil Zakat senantiasa berdasar pada prinsip sukarela dari umat Islam yang menyerahkan harta, tanpa ada unsur pemaksaan. Dalam beberapa ayat memang diterapkan unsur paksaan dalam memungut zakat, namun karena faktor politis dan sosiologis yang belum kondusif, ketentuan al Qur’an belum bisa di wujudkan secara maksimal. Maka, sehubungan dengan prinsip ini hal yang dapat dilakukan Badan Amil Zakat adalah melalui dakwah dengan motivasi yang bertujuan memberikan kesadaran pada umat Islam agar membayarkan kewajibannya.
3) Prinsip keterpaduan
Badan Amil Zakat melakukan tugas dan fungsinya secara terpadu diantara komponen-komponennya. Untuk mewujudkannya diterapkan prinsip manajemen modern, sehingga seluruh komponen bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan kompak.
4) Prinsip profesionalisme
Pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka yang ahli di bidangnya, baik secara administratif, finansial, dan lain-lain. Selain keahlian, rasa tanggung jawab dan kesungguhan melaksanakan tugas juga dituntut pada para pengelola. Semuanya akan sempurna bila disertai sifat amanah dari para pengelola, sehingga hasil yang akan dicapai bisa diwujudkan.
5) Prinsip kemandirian
Dengan terwujudnya prinsip profesionalisme, pada saatnya Badan Amil Zakat akan menjadi lembaga yang mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara tepat guna dan berhasil guna yang optimal, tanpa menunggu bantuan dari pihak lain.
d. Tugas dan Fungsi Badan Amil Zakat.
Berdasarkan pasal 8 Undang-undang No 38 tahun 1999, tugas pokok dari Badan Amil Zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Sementara fungsi Badan Amil Zakat berdasarkan keputusan bersama Menteri dalam negeri dan menteri agama No 29 tahun 1991/47 tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat pasal 6, bahwa fungsi utama dari Badan Amil Zakat adalah sebagai wadah pengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat infak dan shadaqah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional.
Jadi peran Badan Amil Zakat adalah sebagai pengumpul zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas pemberitahuan muzakki dimana perhitungannya dilakukan sendiri oleh muzakki apabila ia mampu. Jika tidak, perhitungan diserahkan pada Badan Amil Zakat. Setelah zakat dikumpulkan, zakat tersebut didayagunakan untuk kepentingan masyarakat yang berhak menerimanya (mustahiq). Namun, khusus bagi zakat harta, pendayagunaan zakat harus diorientasikan pada usaha yang bersifat produktif. Hal ini bertujuan supaya para mustahiq tidak terdidik menjadi masyarakat yang konsumtif. Dengan memproduktifkan zakat yang diperoleh, diharapkan perekonomiannya berubah sehingga untuk selanjutnya dia tidak lagi sebagai mustahiq namun sebagai muzakki.
Hal ini berbeda dengan zakat fitrah, yang memang bertujuan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Namun, apabila setelah dibagikan pada fakir miskin untuk kebutuhan hari raya zakat masih tersisa, maka zakat boleh di gunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif.
e. Struktur Organisasi
Badan Amil Zakat merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang memiliki struktur organisasi dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota sampai tingkat desa dan kelurahan. Pengurus Badan Amil Zakat terdiri dari unsur ulama, cendekiawan dan tokoh masyarakat formal dan non formal.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri agama Nomor 581 tahun 1999 pasal 3, 4, 5, dan 6, susuna organisasi Badan Amil Zakat sekurang-kurangnya terdiri dari unsur :
1) Dewan Pertimbangan atau Unsur Pembina.
Dewan pertimbangan terdiri dari pemerintah, baik tingkat puat maupun tingkat daerah. Pembina tingkat pusat adalah Menteri Agama dan tingkat daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala Desa /Lurah. Selain pemerintah daerah, khusus untuk tingkat daerah pembinaan terhadap Badan Amil Zakat dibantu pula oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama untuk tingkat Propinsi, Kepala Kantor Departemen Agama di tingkat Kabupaten, Kepala Kantor Urusan Agama untuk tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan.
2) Komisi Pengawas atau Unsur Pengawas.
Komisi Pengawas ditunjuk oleh pemerintah atau oleh pengurus Badan Amil Zakat sendiri.
3) Badan Pelaksana Unsur Pelaksana.
Badan Pelaksana adalah pengurus harian yang bertugas mengumpulkan dan menyalurkan atau mendayagunakan harta zakat untuk umat Islam. Unsur pelaksana ini bisa terdiri dari para ulama, cendikiawan dan tokoh masyarakat. Seluruhnya terintegrasi dalam sebuah struktur kepengurusan Badan Amil Zakat yang kompak, loyal, dan bertanggung jawab.
Badan Amil Zakat berperan penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena, zakat adalah salah satu struktur sosial dalam masyarakat Islam yang bersifat fungsional. Maksudnya, keberadaan zakat berfungsi terhadap sistem sosial lainnya, yaitu masyarakat yang mempunyai kewajiban berzakat (muzakki) dan yang berhak menerimanya (mustahiq). Tujuan ini akan terlaksana secara efektif dengan adanya lembaga yang memiliki tugas-tugas yang bertujuan untuk dijalankannya perintah membayar zakat, yaitu Badan Amil Zakat. Diantara tugas Badan Amil Zakat, sebagaimana telah diuraikan diatas, adalah mengumpulkan zakat dari para muzakki. Supaya proses pengumpulan ini berjalan lancar dengan dibarengi kesadaran dari para muzakki, prinsip pemaksaan belum bisa diterapkan mengingat kultur sosial masyarakat Indonesia saat ini. Maka, dalam Undang-Undang zakat, solusi berupa usaha penyadaran adalah pilihan tepat. Jika upaya penyadaran berhasil, Badan Amil Zakat merupakan pilihan dari para muzakki untuk menyalurkan zakat. Secara langsung, Badan Amil Zakat sebagai salah satu struktur sosial akan memberikan kontribusi besar dalam upaya menyejahterakan masyarakat, dalam hal ini mustahiq. Sebaliknya, jika struktur sosial ini tidak fungsional maka ia akan hilang atau tidak ada dengan sendirinya. Dapat kita gambarkan dalam bagan berikut :

BAB II (C)

C. Syarat Zakat Profesi
1. Syarat wajib zakat profesi
a. Islam
Zakat adalah ibadah murni yang diwajibkan bagi orang yang mukallaf, yaitu orang yang dibebani hukum (Islam), maka zakat tidak wajib bagi orang kafir, baik kafir asli maupun kafir murtad.
b. Baligh dan berakal
Baligh adalah orang yang sudah mencapai usia dewasa yang ditandai dengan adanya mimpi seksual, perubahan suara dan secara biologis sudah berumur 15 tahun. Sedangkan berakal adalah orang yang sudah bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Zakat tidak diwajibkan bagi orang yang tidak baligh berakal berdasarkan hadits Nabi SAW :
عَنْ عَلِّى رض أَنَّ النَّبِيَّ ص م قَالَ: رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَن النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ( رواه احمد وابو دود والترمذى )
Dari Ali Ra, sesungguhnya Nabi SAW bersabda diangkat pena (tidak dibebani hukum) dari tiga hal yaitu dari orang gila sampai ia sembuh orang yang tidur sampai ia terbangun dan anak-anak sampai ia bermimpi (dewasa). (Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan at Turmizi)

Walaupun anak kecil dan orang gila tidak dibebani wajib zakat namun zakat wajib terhadap harta mereka. Hal ini berdasarkan hadits nabi SAW:
عَنْ عُمَرَبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ قَالَ: مَنْ وَلَّى يَتِيْمًا لَهُ فَلْيُتَجِرْ لَهُ وَلاَ يَتْرُكُهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَ قَهُ (رواه البيهقى)
Dari amir bin syu’aib dari bapaknya dari neneknya dari rasulullah SAW bersabda siapa yang menjadi wali anak yatim yang memiliki harta kekayaan, hendaklah ia mengembangkannya dan tidak membiarkannya hingga harta itu dikenai zakat (Hadits riwayat al Baihaqi)


c. Memiliki harta kekayaan dari hasil usaha profesi
Maksudnya adalah apabila seseorang memilki harta kekayaan yang dalam hal ini berasal dari hasil usaha profesi yang mencapai nisab, maka ia terkena kewajiban zakat. Nisab adalah kadar kekayaan yang dimiliki yang dengan kadar itu diwajibkan zakat. Jadi orang kaya yang dikategorikan wajib membayar zakat profesi apabila kekayaannya mencapai nisab zakat profesi.
d. Cukup nisab
Nisab adalah kadar minimal jumlah harta yang wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan syara’. Harta penghasilan yang di dapatkan dari profesi diwajibkan untuk di zakatkan apabila telah mencapai nisab zakat profesi. Mengenai hal nisab zakat profesi ada 2 pendapat:
1) Nisabnya sama dengan nisab tanaman dan buah-buahan yaitu 5 wasaq atau sebanding dengan 653 kg dari yang terendah nilainya dari yang dihasilkan tanah seperti gandum. Bila harga beras Rp. 2.500/kg, maka nisab zakat tanaman adalah Rp. 1.300.000,-. Jadi, jika hasil usaha dari profesi mencapai nilai yang setara dengan ukuran nisab tanaman, maka nisab zakat itu sudah terpenuhi dan wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen.
2) Nisabnya sama dengan nisab emas, yaitu 20 mitsqal atau sama dengan nilai 85 gram emas. Jika pendapatan seseorang telah mencapai nilai 85 gram emas, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen.
Pendapat yang kedua yaitu 85 gram emas senilai dengan 20 mitsqal hasil pertanian yang disebutkan oleh banyak hadits. Banyak yang memperoleh penghasilan profesi dalam bentuk uang maka menurut Yusuf al Qardawi yang paling baik adalah menetapkannya dengan nisab uang, yang sama dengan nisab emas. Sementara pendapat pertama menentukan batas nisab terendah karena tanaman merupakan penentu kehidupan manusia. Dalam pengamalannya, mayoritas ulama berpendapat bahwa nisab zakat profesi sama dengan nisab emas.
Seseorang yang mendapatkan penghasilan dari profesi ada kalanya tidak teratur dalam pendapatnya. Seperti dokter yang mendapatkan imbalan setiap hari, advokat, kontraktor dan lain-lain yang mendapatkan penghasilan pada saat-saat tertentu atau pekerjaan lain seperti pegawai negeri yang mendapatkan gaji setiap bulan. Untuk menentukan nisab penghasilan mereka, menurut Yusuf al Qardawi digunakan dua kemungkinan:
a) Menetapkan nisab setiap kali diperoleh pendapatan. Pendapat ini berdasarkan realisasi dari pendapat para sahabat dan ulama fiqih yang menyatakan bahwa zakat penghasilan wajib dikeluarkan pada saat diterima, apabila mencapai nisab. Sebagaimana waktu pengeluaran zakat tanaman dan buah-buahan.
Kemungkinan pertama memberikan keringanan bagi orang yang dalam satu kali penerimaan penghasilan tidak mencapai nisab. Maka terdapat kemungkinan terhadap orang yang setiap kali menerima penghasilan tidak mencapai nisab, tidak terkena wajib zakat.
b) Mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali dalam waktu tertentu. Hal ini sama dengan perhitungan nisab pada pertambangan, dimana hasil yang di peroleh dari waktu ke waktu yang tidak terputus ditengah akan lengkap melengkapi untuk mencapai nisab. Hal ini juga sama dengan pendapat Hanbali mengenai penyatuan hasil tanaman dan buah-buahan selama satu tahun untuk mencapai nisab.
Penulis lebih sepakat dengan ketentuan yang kedua, yaitu mencukupkan nisab dengan perhitungan akumulatif dalam setahun. Karena, zakat ini diwajibkan pula jika telah lewat setahun, disamping itu ketentuan mengenai zakat kolektif juga diatur dalam fikih, maka dalam hal mengumpulkan hasil usaha dalam setahun juga sepatutnya dilakukan.
Mengenai apakah nisab dihitung dari pendapatan bersih setelah dikeluarkan kebutuhan harian, atau pendapatan kotor, dalam hal ini ulama diantaranya Yusuf al Qardawi berpendapat bahwa nisab dikeluarkan dari pendapatan kotor. Karena jika setiap orang yang berprofesi menghitung nisab dari pendapatan bersih, kemungkinan dia menjadi muzakki sangatlah kecil, terutama yang memiliki pendapatan standar, atau pas-pasan. Adalah lebih bijaksana bagi mereka untuk mengeluarkan zakat untuk mewujudkan solidaritas dan persaudaraan serta kasih sayang pada fakir miskin.
e. Milik sempurna.
Harta dari hasil usaha profesi wajib dizakatkan apabila harta itu utuh berada di tangan pemiliknya dan ia bisa bertindak hukum terhadap hartanya itu. Jadi harta yang berupa piutang atau berada di tangan orang lain dan harta wakaf tidak ada kewajiban zakat padanya. Hal ini berdasarkan firman allah surat adz-Dzariyat ayat 19:
وَالَّذِيْنَ فِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْمِ
Dan orang yang di dalam hartanya tersisa bagian tertentu untuk orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).

Maksud harta mereka berdasarkan ayat diatas adalah harta yang utuh dimiliki oleh penerima zakat. Sehingga dia dapat mempergunakannya kapanpun waktunya.
f. Harta yang akan dizakati melebihi kebutuhan pokok.
Zakat profesi wajib dikeluarkan apabila harta tersebut telah dikurangi dengan kebutuhan pokok, sama halnya dengan mengeluarkan zakat terhadap objek zakat lainnya.
Dalam Fiqh Zakat, DR. Yusuf al Qardawi menyebutkan bahwa untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan terpenuhi kebutuhannya serta memang memiliki uang berlebih, lebih bijaksana bila membayar zakat dari penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokok. Namun, jika seseorang memiliki penghasilan yang tidak besar, bahkan kurang memenuhi standar kehidupan, kalaupun diwajibkan zakat maka penghitungannya diambil dari penghasilan bersih setelah dikurangi hutang dan kebutuhan pokok lainnya. Bila sisa penghasilan tersebut memenuhi nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Pendapat Yusuf al Qardawi diatas merupakan jalan tengah yang bijaksana, karena tidak memberatkan semua pihak. Masing-masing pihak akan merasakan keadilan dalam syari’at Islam dan tujuan filosofis dari zakat dapat diwujudkan.
Satu syarat lagi yang dicantumkan dan merupakan hal yahg diperselisihkan oleh para ulama yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu syarat kepemilikan harta telah mencapai satu tahun, menurut hitungan tahun qamariyah (hijriyah). Berdasarkan hadits :
عَنْ عَلىِ عَلَيْهِ السَلاَمُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م إِذَاكَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍِ وَحَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْئٌ حَتَّى يَكُوْنَََُ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا وَحَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ فَفِيْهَانِصْفُ دِيْنَارٍ فَمَازَادَفَبِحِسَا بِ ذَالِكَ وَلَيْسَ فِى مَالٍِ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ (رواه البخارى)

Dari Ali Ra. berkata Rasulullah SAW bersabda apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah berlalu selama satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak lima dirham. Tidak wajib zakat sampai melebihi 20 dirham dan telah berlalu satu tahun maka zakatnya setengah dinar, jika lebih maka dihitung berdasarkan kelebihannya. Dan tidak ada kewajiban zakat sebelum sampai satu tahun.

Kalimat terakhir hadits ini menegaskan dengan jelas bahwa harta apapun yang wajib zakat, keluarkan zakatnya apabila telah lewat waktu satu tahun, maka zakat profesi termasuk disini. Berdasarkan pendapat terkuat yang telah dijelaskan, bahwa untuk mengeluarkan zakat profesi tidak harus menunggu satu tahun, namun segera setelah mendapatkannya. Maka, syarat ini tidak termasuk dalam syarat wajib zakat profesi. Namun, sungguhpun demikian, ulama kontemporer tetap memberikan dua pilihan terhadap waktu pembayaran zakat profesi, yaitu:
a. Jika seseorang menerima penghasilan per bulan, maka kecil kemungkinan penghasilan itu akan mencapai nisab. Jika penghasilan itu dikumpulkan selama 12 bulan, maka akan ada kemungkinan mencapai nisab. maka, ketentuan 12 bulan atau setahun dalam hal ini bukanlah sebagai syarat, namun sebagai jarak untuk membayar zakat periode berikutnya. Dan apabila di tunggu pembayaran zakat ini sampai setahun, akan ada kecenderungan seseorang menghamburkan uangnya untuk hal yang bukan keperluan pokok, sehingga ketika dihitung pada akhir tahun, hartanya berkurang dari nisab, maka untuk menunaikan kewajiban pemilik harta, dan keadilan bagi para fakir miskin, dikeluarkanlah zakat perbulan.
b. Ketika menerima pendapatan, atau penghasilan, jika nisab zakat dihitung berdasarkan nisab zakat tanaman dan buah-buahan. Hal ini berdasarkan firman Allah surat al-An’am 141 :
   • •   • •   • •                      


Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.

Berdasarkan ayat diatas, zakat tanaman dan buah-buahan dikeluarkan pada hari memetik hasilnya (hari memanen buah-buahan). Jadi, jika nisab zakat profesi disamakan dengan nisab zakat tanaman dan buah-buahan, wajib pula mengeluarkannya setiap hasil dari profesi itu diterima, berupa gaji, upah, dan lain-lain.
Pendapat yang kedua ini, berdasarkan tarjih sebelumnya, bukan hanya karena perhitungan nisabnya pada zakat tanaman, namun telah dijelaskan bahwa nisab zakat profesi lebih kuat disamakan dengan nisab emas. Maka, tetap dikeluarkan dihari menerimanya. Karena banyak profesi sekarang yang dalam sekali penerimaan telah mencapai nisab.
2. Syarat sah zakat profesi
Penunaian zakat profesi, sama halnya dengan penunaian zakat lainnya, sah jika memenuhi dua syarat, yaitu:
a. Niat
Para fuqaha’ sepakat bahwa niat merupakan syarat sah pelaksanaan zakat. Karena hadits Nabi SAW menyatakan setiap amalan harus disertai niat. Zakat merupakan salah satu amalan (ibadah) seperti halnya shalat. Maka, niat diwajibkan dalam pelaksanaannya.
b. Tamlik
Tamlik adalah memindahkan kepemilikan harta kepada penerimanya. Maksudnya, penyerahan harta kepada mustahiq (orang-orang yang berhak menerima zakat). Mazhab Hanafi berpendapat bahwa zakat tidak boleh diberikan pada orang gila atau anak kecil yang belum mumayyiz. Kecuali, jika harta yang diberikan tersebut diambil oleh orang yang berwenang mengambilnya atau wali.

BAB II (B)

B. Diskursus Ulama Seputar Zakat Profesi
Pada zaman Rasulullah SAW sudah banyak profesi keahlian atau pengkhususan pekerjaan kepada ahlinya. Seperti Bilal bin Rabah yang berprofesi sebagai muadzin, Bahkan beliaupun pernah bersabda bahwa bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya (profesinya), maka tunggulah kehancurannya. Rasulullah SAW tidak pernah menerapkan zakat profesi di masa itu, sementara sekian jenis profesi dan spesialisasi telah ada. Bahkan sampai sekian abad kemudian, umumnya para ulama pun tidak pernah menuliskan adanya zakat profesi di dalam kitab-kitab fiqih dalam bab khusus.
Maka, mengenai hukum zakat profesi terdapat dua pendapat ulama, yaitu zakat profesi wajib dengan bersyarat, apabila telah berlalu satu tahun dan cukup nisab. Karena, kaedah umum dalam penerapan zakat menurut jumhur ulama adalah cukup haul, nisab dan zakat bebas dari utang. Ulama yang menyepakati hal ini adalah ulama empat mazhab, yang diikuti oleh Khafnawi. Sementara pendapat berikutnya adalah pendapat dari sebagian sahabat yaitu Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud dan Mu’awiyah, sebagian tabi’in yaitu Umar bin Abdul Aziz, serta pendapat Ibnu Hazm dan DR. Yusuf al Qardhawi.
Dasar hukum zakat profesi diperoleh dari al Qur’an, sunnah, dan pendapat para ulama.
1. Al Qur’an
a. Surat al Baqarah ayat 267:
                           •    
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Ayat ini menjelaskan bahwa orang beriman diperintahkan untuk menafkahkan harta dengan beberapa ketentuan yaitu harta yang baik-baik, namun tidak semua, cukup sebagian saja. Selanjutnya dijelaskan bahwa harta yang dinafkahkan itu adalah hasil usaha dan harta yang telah Allah keluarkan dari bumi. Perintah menafkahkan harta merupakan perintah wajib dan dapat dipahami dalam ayat berdasarkan keumuman lafaz “ma kasabtum” (apa-apa saja yang kamu usahakan). Jadi, diwajibkan untuk menzakatkan hasil usaha, apapun bentuknya. Zakat hasil usaha ini di sebut juga zakat profesi. Menurut ilmu ushul fiqh (metodologi hukum Islam), untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diatur oleh nash (al-Quran dan Sunnah) secara jelas ini, dapat diselesaikan dengan jalan mengembalikan persoalan tersebut kepada al-Quran dan sunnah itu sendiri. “Apa saja yang kamu usahakan” dalam ayat di atas pada dasarnya bersifat umum, namun ulama kemudian membatasi pengertiannya terhadap beberapa jenis usaha atau harta yang wajib dizakatkan, yakni harta perdagangan, emas dan perak, hasil pertanian dan peternakan. Pengkhususan terhadap beberapa bentuk usaha dan harta ini tentu saja membatasi cakupan lafaz umum pada ayat tersebut sehingga tidak mencapai selain yang disebutkan tersebut. Untuk menetapkan hukum zakat profesi, lafaz umum tersebut mestilah dikembalikan kepada keumumannya sehingga cakupannya meluas meliputi segala usaha yang halal yang menghasilkan uang atau kekayaan bagi setiap muslim. Dengan demikian zakat profesi dapat ditetapkan hukumnya wajib berdasarkan keumuman ayat di atas. Secara redaksional, hakikatnya objek zakat yang utama diwajibkan dalam ayat ini adalah zakat profesi, karena Allah memerintahkan untuk mengeluarkan hasil usaha yang baik-baik, seperti usaha sebagai dokter, guru, penulis, pengacara, dan lain-lain yang termasuk usaha-usaha yang halal dilakukan. Setelah itu, baru Allah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat dari apa-apa yang Allah keluarkan dari bumi seperti tanaman, buah-buahan dan barang tambang. Ahmad Rofiq, dalam menguraikan jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan, menempatkan zakat profesi pada urutan pertama, kemudian baru objek zakat lainnya.
b. Selanjutnya juga terdapat dalam surat al Baqarah ayat 254 :
                     
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at, dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.

Berdasarkan ayat diatas, diperoleh petunjuk bahwa menafkahkan hasil usaha, yaitu rezki yang telah diberikan oleh Allah adalah perintah wajib.



2. As Sunnah
a. Hadits riwayat muttafaqun ‘alaih
عَن بْنِ عَبَّاسٍ ر.ض أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ الْحَدِ يْثَ وَفِيْهِ: إِنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَ قَةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنَيْائِهِمْ فَتُرَدُّ إِلَى فُقَرَائِهِمْ (متفق عليه واللفظ للبخارى)
Dari Ibnu Abbas Ra, bahwa sesungguhnya Rasulullah S.A.W mengutus Mu’adz ke negri Yaman. Beliau berpesan sesungguhnya Allah mewajibkan zakat kepada mereka yang kaya untuk diberikan kepada para fakir miskin (Hadits riwayat muttafaqun ‘alaih, lafazh dari Bukhari)

Hadist diatas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mewajibkan orang kaya untuk mengeluarkan zakat. Dalam Islam ditetapkan ukuran bagi seseorang untuk bisa dianggap kaya yaitu 12 junaih emas menurut ukuran junaih Mesir lama. Maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena wajib zakat sehingga jelas perbedaan antara orang kaya dan orang miskin. Dalam ketentuan tentang zakat, ditentukan kadar kekayaan minimal yang dimiliki oleh seseorang sehingga dia wajib mengeluarkan zakat, yang disebut nisab. Maka jika seseorang memiliki profesi yang penghasilannya mencapai ukuran nisab zakat profesi, ia sudah tergolong kaya dan terkena wajib zakat.



b. Hadits Riwayat Bukhari
عَنْ اَبِى مُوْسَى الْأَشْعَرِى عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ:عَلَى كُلِ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ. فَقَا لُوْا يَا نَبِيَّ ا للهِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ؟, قَالَ: يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ, قََا لُوْا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: يُعِيْنُ ذَاالْحَاجَةِ الْمَلْهُوْفِ. قَا لُوْا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِتعْ؟ قَالَ: فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوْفِ وَلْيَمْسِكْ عَنِ الشَّرِ, فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ

"Setiap orang Muslim wajib bersedekah." Mereka bertanya, "Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya?” Beliau menjawab, "Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah." Mereka bertanya, "Kalau tidak punya pekerjaan?" Beliau bersabda, "Tolong orang yang meminta pertolongan." Mereka bertanya, "Bagaimana bila tidak bisa?" Beliau menjawab, "Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelekan, hal itu merupakan sedekahnya."(Hadits Riwayat Bukhari)

Hadits diatas menegaskan pentingnya bagi setiap muslim untuk mengorbankan sebagian hartanya, namun jika tidak ada harta untuk diberikan, Rasulullah memotivasi untuk berusaha sehingga dengan usaha itu seseorang dapat memperoleh penghasilan, dan bahkan jika seseorang tidak bisa memperoleh penghasilan, dia diperintahkan untuk memberikan apa yang dimilikinya yang bukan dalam bentuk materi, yaitu dengan melakukan kebaikan. Maka, dalam hal ini, amat pantas kiranya jika seseorang memperoleh harta dari keahlian yang dimilikinya, untuk mengeluarkan sedekahnya berupa zakat.

3. Pendapat para ulama
Sebagaimana diuraikan diatas, ulama berbeda pendapat mengenai kapan dikeluarkan zakat profesi, yaitu :
a. Wajib mengeluarkan zakat profesi dengan persyaratan cukup nisab dan telah berlalu satu tahun Qamariah
Ulama mujtahid mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Hanbali, dalam pembahasan mereka tentang zakat, tidak memuat ketentuan tentang zakat profesi. Dalam kitab al Fiqh ala al Mazahib al Arba’ah menyatakan bahwa harta-harta yang wajib dizakatkan hanyalah lima jenis harta saja, yaitu emas perak, binatang ternak, barang dagangan, barang tambang dan rikaz, serta tanaman dan buah-buahan. Namun dalam kitab fikih beliau, Wahbah al Zuhaili menyatakan telah tetap dalam mazhab yang empat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada al maal al mustafad kecuali apabila telah cukup nisab dan telah berlangsung selama satu tahun. Karena, seseorang menerima profesi adakalanya bulanan, seperti penerimaan gaji para pegawai, insinyur, atau dokter yang menerima penghasilan tidak menentu sehingga tidak akan tercapai satu tahun, karena ada kemungkinan akan habis diakhir tahun karena kebutuhan mereka, sehingga tidak akan tercapai nisab yang mewajibkan zakat. Berikut ini uraian pendapat para ulama tentang kewajiban berlalu satu tahun:
1) Pendapat Imam Mazhab
Ibnu Hazm dalam al- Muhalla menyatakan bahwa empat imam mazhab memiliki pendapat yang cukup beragam tentang penetapan waktu setahun. Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak, meski satu jam menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat Tetapi bila binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun induknya baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun belum mencapai nisab. Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun.



2) Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Ibnu Qayyim dan Ibnu Rusyd berpendapat bahwa zakat profesi dikeluarkan apabila telah cukup waktu satu tahun qamariyah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
عَنْ عَلىِ عَلَيْهِ السَلاَمُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م إِذَاكَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍِ وَحَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْئٌ حَتَّى يَكُوْنَََُ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا وَحَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ فَفِيْهَانِصْفُ دِيْنَارٍ فَمَازَادَفَبِحِسَا بِ ذَالِكَ وَلَيْسَ فِى مَالٍِ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ (رواه البخارى)
Jika engkau sudah memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu selama satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak lima dirham. Tidak wajib zakat sampai melebihi dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun maka zakatnya setengah dnar. Jika lebih maka di hitung berdasarkan kelebihannya. Dan tidak ada kewajiban zakat terhadap harta apapun sebelum sampai satu tahun. (Hadits Riwayat Bukhari)

Dari hadits diatas dijelaskan bahwa jenis harta apapun, apabila telah mencapai nisab, tidak dikenai kewajiban zakat kecuali apabila telah lewat satu tahun.
Beberapa argumentasi dikemukakan oleh Ibnu Qayyim tentang pengeluaran zakat hanya wajib apabila telah lewat waktu satu tahun, diantarannya :
a) Amalan sahabat yang melakukan pemungutan harta terhadap penduduk sebagai zakat sekali dalam setiap tahunnya.
b) Logisnya, harta terlihat perkembangannya minimal dalam waktu satu tahun. Alasan perkembangan harta ini menjadi penentu karena salah satu syarat harta yang wajib dizakatkan adalah berkembang, atau memiliki potensi untuk berkembang. Zakat profesi dalam hal ini berupa uang, maka uang tunai memiliki potensi untuk berkembang, seperti digunakan sebagai investasi.
c) Mencapai keadilan. Syariat membebankan suatu kewajiban tidak bersifat untuk menaganiaya, namun untuk kemaslahatan bagi semua pihak. Zakat yang dikeluarkan dalam waktu cukup satu tahun akan meringankan pihak muzakki jika dibandingkan harus dikeluarkan setiap bulan, bahkan setiap minggu. Dan jika zakat dikeluarkan lebih dari jangka waktu satu tahun pengeluarannya, maka akan menyiksa para mustahiq zakat.
Berdasarkan dalil-dalil diatas, golongan yang pertama ini berkesimpulan bhwa zakat profesi wajib dikeluarkan apabila telah berlangsung selama satu tahun.
b. Wajib mengeluarkan zakat profesi pada saat diterima.
Hal ini berdasarkan pendapat sebagian sahabat (Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud dan Mu’awiyah), sebagian tabi’in yaitu Umar bin Abdul Aziz, serta pendapat Ibnu Hazm dan DR. Yusuf al Qardhawi. Ibnu Hazm, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah dan Dr. Yusuf al Qardhawi berpendapat bahwa zakat profesi wajb dikeluarkan pada waktu menerimanya, apabila sudah cukup nisab.
1) Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kewajiban mengeluarkan zakat profesi pada waktu menerimanya, berdasarkan riwayat Ibnu Syaibah dan Malik dari Ibnu Abbas, bahwa kewajiban pengeluaran zakat setiap harta benda yang dizakati adalah jika yang memilikinya adalah seorang muslim. Jadi, zakat dari harta penghasilan harus segera dikeluarkan zakatnya tanpa menunggu satu tahun. Sementara hadits yang menjelaskan tentang pengeluaran zakat harus disyaratkan berlalunya waktu satu tahun, menurut hasil takhrij dari Ibnu Hazm, hadits tersebut berstatus mauquf sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Beberapa riwayat dari kalangan sahabat yang menunjukkan bahwa zakat profesi dikeluarkan segera saat menerimanya, tanpa harus menunggu waktu satu tahun, yaitu:
a) Ibnu Abbas
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya."
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm.
Hal itu menunjukkan ketiadaan ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Abu Ubaid berpendapat bahwa riwayat Ibnu Abbas ini bersifat umum untuk seluruh jenis zakat, termasuk zakat hasil usaha profesi.
b) Ibnu Mas'ud
Abu Ubaid meriwayatkan dari Hubairah bin Yaryam bahwa “Abdullah bin Mas'ud memberikan kami keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya.”
Penarikan zakat diatas maksudnya adalah penarikan zakat atas pemberian. Hubairah mengatakan bahwa lbnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah, dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang dengan pengurangan sumber, bukan diambil karena kekayaan asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari pemberian lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari seharusnya. Riwayat Ibnu Mas’ud ini adalah zakat dari pemberian. Hasil pemberian ini termasuk golongan al maal al mustafad menurut Mahmud Ibnu Saud, karena al maal al mustafad terdiri dari dua jenis, yaitu harta yang diperoleh dari usaha (zakat profesi) dan harta yang diperoleh tanpa usaha seperti pemberian (hibah), waris, simpanan dan temuan. Jadi ketetapan wajib zakatnya sama dengan ketetapan wajibnya zakat profesi, berikut syarat-syarat yang terkait padanya juga disyaratkan pada zakat profesi, termasuk wajib dikeluarkan pada saat menerimanya.
c) Mu'awiyah
Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu Mas'ud tersebut, karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.
Mu'awiyah mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam Negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Zaman Mu'awiyah penuh dengan kumpulan para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu'awiyah melanggar hadis Nabi atau ijmak yang dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu'awiyah tentang masalah lain, ketika Mu'awiyah memungut setengah sha' gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha' bukan gandum, seperti diberitakan hadis Abu Said al-Khudri sedangkan Mu'awiyah sendiri, meski dikatakan bahwa ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah, tidak bermaksud menyanggah sunnah yang tegas dari Rasulullah SAW.
d) Umar Bin Abdul Aziz
Empat periode Mu'awiyah, datanglah pembaharu seratus tahun pertama yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru yang diterapkannya adalah pemungutan zakat dari pemberian, hadiah, barang sitaan, dan lain-lain.
Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima.
Dengan demikian, ucapan 'umalah adalah sesuatu yang diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan karyawan pada masa sekarang. Harta sitaan (mazhalim) ialah harta benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak benar pada masa-masa yang telah silam dan pemiliknya menganggapnya sudah hilang atau tidak ada lagi, yang bila barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya merupakan penghasilan baru bagi pemilik itu. Pemberian (u'tiyat) adalah harta seperti honorarium atau biaya hidup yang dikeluarkan oleh Baitul mal untuk tentara Islam dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz memungut zakat pemberian dan hadiah. Itu adalah pendapat Umar. Bahkan hadiah-hadiah atau bea-bea yang diberikan kepada para duta baik sebagai pemberian, tip, atau kado, ditarik zakatnya. Hal itu sama dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara sekarang dalam pengenaan pajak atas hadiah-hadiah tersebut.
2) Yusuf al Qardhawi
Yusuf Qardhawi sebagai pakar fiqh kontemporer bardasarkan penelitiannya terhadap berbagai macam pendapat ulama mengenai ketentuan satu tahun terhadap pembayaran zakat profesi, dengan mempertimbangkan setelah diperbandingkan pendapat-pendapat di atas dengan alasan masing-masing, meneliti nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, memperhatikan hikmah dan maksud pembuat syariat mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan umat Islam pada masa sekarang ini, maka beliau berkesimpulan bahwa harta hasil usaha seperti gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan yang lain yang mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, kapal terbang, percetakan, tempat-tempat hiburan, dan lain-lainnya, wajib terkena zakat persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima. Beberapa alasan atau argumentasi yang beliau kemukakan dalam karya beliau, Hukum Zakat adalah :
a) Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum syara' yang berlaku umum bagi umat. Hal itu berdasarkan ketegasan para ulama hadis dan pendapat sebagian para sahabat yang diakui kebenarannya sebagaimana telah diterangkan.
b) Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan, sebagian mensyaratkan adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak mensyaratkan satu tahun itu sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada waktu harta penghasilan tersebut diterima oleh seorang muslim. Perbedaan mereka itu tidak berarti bahwa salah satu lebih baik daripada yang lain, oleh karena itu maka persoalannya dikembalikan pada nash-nash yang lain dan kaedah- kaedah yang lebih umum, misalnya firman Allah: "Apabila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Quran) dan kepada Rasul (hadis)." (An-Nisa: 59).
c) Ketiadaan nash ataupun ijma’ dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat mazhab-mazhab yang ada berselisih pendapat tajam sekali, yang mengakibatkan Ibnu Hazm sampai menilainya sebagai dugaan-dugaan saja, merupakan pertentangan-pertentangan dan bagian-bagian yang saling bertentangan yang tidak ada dasar kebenarannya, tidak dari al Quran atau hadis shahih atau riwayat yang ada cela sekalipun, maupun dari Ijma’ dan Qiyas, dan dari pemikiran dan pendapat yang kira-kira dapat diterima. Al Qardawi sudah melakukan penjajagan atas perbedaan-perbedaan pendapat antara mazhab-mazhab, metode dan perbedaan pentashihan dan pentarjihan masing-masing mazhab. Beliau menemukan pula berpuluh-puluh persoalan dan persoalan lebih jauh yang ditimbulkannya mengenai harta penghasilan itu, digabungkankah penghasilan itu dengan harta induknya atau tidak, ataukah sebagian digabungkan dan sebagian lagi tidak. Penggabungan tersebut dalam hal nisab, tahun, ataukah dalam keduanya. Beberapa diskusi berkisar mengenai masalah itu dalam hal zakat binatang, zakat uang, zakat perdagangan, dan persoalan-persoalan kecil lainnya, semuanya itu membuat beliau menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana dan berbicara untuk seluruh umat manusia membawa persoalan-persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh umat.
d) Mereka yang tidak mensyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang berlaku umum dan tegas di atas daripada mereka yang mensyaratkannya, karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik dalam al Quran maupun dalam sunnah datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat didalamnya persyaratan setahun. Misalnya, "Berikanlah seperempat puluh harta benda kalian," Harta tunai mengandung kewajiban seperempat puluh dan dikuatkan oleh keumuman firman Allah "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian." (al-Baqarah: 267) Kata ma kasabtum merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha seperti perdagangan, atau pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih berpegang kepada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai landasan zakat penghasilan dan profesi. Bila para ulama fikih telah menetapkan setahun sebagai syarat wajib zakat perdagangan, maka itu berarti bahwa antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak boleh dipisahkan karena laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.
e) Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan satu tahun sebagai syarat harta penghasilan wajib zakat, qiyas yang benar juga mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang muslim diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. Maka bila kita memungut dari petani meskipun sebagai penyewa, sebanyak sepersepuluh atau seperdua puluh hasil tanaman atau buah-buahannya, mengapakah kita tidak boleh memungut dari seorang pegawai atau seorang dokter, umpamanya, sebanyak seperempat puluh penghasilannya? Bila Allah menyatukan penghasilan yang diterima seseorang muslim dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, yaitu "Hai orang- orang yang beriman keluarkanlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang kami keluarkan untuk kalian dari tanah," mengapakah kita membeda-bedakan dua masalah yang di atur Allah dalam satu aturan sedangkan kedua-duanya adalah rezeki dan nikmat dari Allah? Benar, bahwa nikmat Allah dalam hasil tanaman dan buah-buahan lebih kentara dan mensyukurinya lebih wajib, namun demikian tidak berarti bahwa salah satu pendapatan tersebut tegas wajib zakat sedangkan yang satu lagi tidak. Perbedaannya cukup dengan bahwa pembuat syariat mewajibkan zakat dari hasil tanah sebesar sepersepuluh atau seperdua puluh sedangkan pada harta penghasilan berupa uang atau yang senilai dengan uang-sebanyak seperempat puluh.
f) Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti membebaskan sekian banyak pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi dua golongan saja, yaitu menginvestasikan pendapatan mereka terlebih dahulu dalam berbagai sektor, atau berfoya-foya bahkan menghamburkan semua penghasilannya itu kesana-sini sehingga tidak mencapai masa wajib zakatnya. Itu berarti hanya membebankan zakat pada orang-orang yang hemat dan ekonomis saja, yang membelanjakan kekayaannya seperlunya, tidak berlebih-lebihan tetapi tidak pula kikir, yang berarti mereka menyimpan penghasilan mereka sehingga mencapai masa zakatnya. Hal itu jauh sekali dari maksud kedatangan syariat yang adil dan bijak, yaitu memperingan beban orang-orang pemboros dan memperbuat beban orang-orang yang hemat.
g) Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat Islam mewajibkan zakat Misalnya, Seorang petani yang menanam tanaman pada tanah sewaan, hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10% atau 5% bila sudah mencapai 50 kila Mesir, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab yang ada, sedangkan pemilik tanah yang dalam sejam kadang-kadang memperoleh beratus-ratus atau beribu-ribu dinar berupa uang sewa tanah tersebut, tidak dikenakan zakat, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab yang ada, karena adanya persyaratan setahun bagi penghasilan tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur, advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dan lain-lainnya. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang terlalu mengagungkan pendapat-pendapat fikih yang tidak terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para ulama. Kita tidak yakin, bila mereka hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan apa yang kita saksikan, apakah mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak masalah, seperti yang hanyak kita temukan dalam riwayat para imam.
h) Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima, diantaranya gaji, upah, penghasilan dari modal yang ditanamkan pada sektor selain perdagangan, dan pendapatan para ahli, akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang yang berhak lainnya, menambah besar perbendaharaan zakat, disamping menambah perbendaharaan negara dan pemiliknya dapat dengan mudah mengeluarkan zakatnya. Hal itu dengan pemungutan zakat gaji para pegawai dan karyawan tersebut oleh pemerintah atau yayasan-yayasan melalui cara yang dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan penahanan pada sumber, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah serta Umar bin Abdul Aziz dalam memotong pemberian yang mereka berikan. Maksud kata "pemberian" disini adalah gaji para tentara dan orang-orang yang di bawah kekuasaan negara pada masa itu. Abu Walid Baji mengatakan bahwa, pemberian menurut syara' adalah pemberian dari kepala negara kepada seseorang dari baitul mal berbentuk nafkah hidup (gaji). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hubaira bahwa Ibnu Mas'ud memotong pemberian yang mereka terima sebesar dua puluh lima dari tiap seribu. Hal itu diriwayatkan pula oleh at-Tabrani darinya juga. Dari 'Aun dari Muhammad, "Saya melihat para penguasa bila memberikan gaji, memotong zakatnya. Dari Umar bin Abdul Aziz, bahwa ia mengeluarkan zakat pemberian dan hadiah. Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab, bahwa orang yang pertama kali memungut zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Tampaknya yang ia maksudkan adalah khalifah pertama yang memungut zakat pemberian, sedangkan sebenarnya sudah ada orang yang mengambil zakat pemberian sebelum itu, yaitu Abdullah bin Mas'ud sebagaimana dijelaskan.
i) Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim, sesuai pula dengan kemanusiaan yang harus ada dalam masyarakat, ikut merasakan beban orang lain, dan menanamkan agama tersebut menjadi sifat pribadi unsur pokok kepribadiannya. Allah berfirman tentang sifat-sifat orang yang bertakwa, "dan sebagian apa yang kami berikan kepada mereka, mereka nafkahkan." Allah juga berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian apa-apa yang kami berikan kepada kalian." Untuk itu, Nabi SAW. mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengorbankan sebagian hartanya, penghasilannya, atau apa saja yang ia korbankan. Pembebasan penghasilan-penghasilan yang berkembang sekarang tersebut dari sedekah wajib atau zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja, dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan berusaha.
j) Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan lebih menguntungkan pemasukan zakat secara pasti dan pengelolaannya dilihat dari pihak orang yang wajib mengeluarkan zakat dan dari segi administrasi pemungutan zakat. Hal itu oleh karena bagi yang berpendapat satu tahun sebagai syarat zakat, menyebabkan setiap orang yang mendapatkan penghasilan sedikit atau banyak berupa gaji, honorarium atau penghasilan kekayaan tak bergerak, atau jenis pendapatan yang lain, harus menentukan masa jatuh tempo pengeluaran setiap jumlah kekayaannya, lalu bila sampai masa tempo setahunnya itu dikeluarkanlah zakatnya. Ini berarti, bahwa seorang muslim kadang-kadang bisa mempunyai berpuluh-puluh masa tempo masing-masing kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang dengan demikian zakat tidak bisa terpungut dan sulit dilaksanakan.
Berdasarkan dua dikskursus dari ulama diatas, maka penulis berpendapat bahwa pengeluaran zakat profesi tidak perlu menunggu waktu setahun, karena berdasarkan riwayat-riwayat kuat tentang praktek para sahabat dalam mengeluarkan dan memungut zakat dari harta hasil usaha, serta lemahnya hadits tentang ketentuan setahun untuk mengeluarkan zakat.

BAB II (A)

A. Pengertian Zakat Profesi
Zakat profesi terdiri dari dua kata, zakat dan profesi. Zakat secara etimologi berasal dari bahasa arab, “زكا“, yang berarti penyucian dan pertumbuhan. Sebagaimana firman Allah:
    
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu(Q.S Asy-Syams:9)

Secara terminologi, terdapat beberapa pengertian zakat berdasarkan pendapat para ulama, diantaranya:
1. Mazhab Maliki mendefenisikan Zakat dengan mengeluarkan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nisab, kepada orang–orang yang berhak menerimanya.
2. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa zakat adalah menjadikan sebagian harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syari’at karena Allah.
3. Menurut mazhab Syafi’i, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus.
4. Menurut mazhab Hambali, zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula.
Berdasarkan beberapa defenisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa zakat adalah penyerahan (perpindahan) pemilikan tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula. Dapat juga kita pahami dari defenisi ini bahwa hanya harta-harta tertentu yang dikeluarkan zakatnya. Penjelasan mengenai jenis-jenis harta yang wajib untuk dizakatkan dipahami dari firman Allah dan hadits Nabi SAW, dimana terdapat lima jenis harta wajib zakat yang dipahami dari fikih klasik, yaitu nuqud (emas perak dan uang), barang tambang dan temuan (rikaz), harta perdagangan, tanaman dan buah-buahan, serta binatang ternak. Berdasarkan perkembangan peradaban yang juga mencakup perkembangan usaha manusia, maka terdapat jenis-jenis usaha baru yang dikeluarkan zakatnya, termasuk zakat profesi dalam pembahasan ini.
Profesi berasal dari bahasa Indonesia yang berati bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian. Jika dua kata ini di gabung menjadi istilah zakat profesi, maka definisinya adalah zakat atas penghasilan sebagai imbalan dari pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan. Sebutan lain yang sama maksudnya dengan zakat profesi diantaranya zakat hasil usaha. Dalam bahasa arab dipakai beberapa istilah yang dimaksudkan sebagai zakat profesi, yaitu kasb al amal, al mihn al hurrah, yang tergolong al-maal al-mustafad. Al-maal al-mustafad didefenisikan dengan :
“Usaha yang diperoleh oleh pemilik usaha tersebut, yang bukan berasal dari harta yang dimilikinya, dengan kata lain tidak ada hubungan dengan harta yang dia miliki, seperti upah sebagai hasil dari sebuah pekerjaan, gaji, tunjangan dan lain-lain. ”

Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa al-maal al-mustafad merupakan hasil yang diperoleh dari usaha seseorang dengan sendirinya. Maka, terhadap harta ini terdapat kewajiban zakat apabia telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat.

Skripsiku BAB I



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Zakat merupakan salah satu ibadah mahdhah yang juga sarat muatan sosial ekonomi. Penyerahan harta dengan kadar tertentu kepada orang yang berhak menerimanya , merupakan ibadah yang wajib dilakukan bagi muslim yang sudah memenuhi kriteria wajib zakat, atau sudah menyandang gelar muzakki. Meskipun merupakan kewajiban individu, dalam syariat dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan zakat itu sendiri terdapat kewenangan pihak lain untuk memungutnya, firman Allah surat At-Taubah 103:
          •        

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Ayat tersebut memerintahkan untuk memungut zakat dari harta kekayaan orang mukmin untuk membersihkan mereka dari sifat kikir dan menyucikan jiwa mereka. Berdasarkan ayat inilah Rasulullah melakukan pemungutan zakat dari umat Islam yang telah terkena kewajiban zakat. Pemungutan zakat oleh pemerintah terjadi untuk pertama kalinya pada tahun 9 Hijriyah. Pada waktu itu Rasulullah SAW sebagai Kepala Negara mengirimkan sahabat beliau ke daerah tempat tinggal Tsa’labah untuk mengumpulkan zakat darinya dan kaumnya. Pun, dalam sejarah Khulafaurrasyidin yang pertama, Abu Bakar As-Shiddiq bertindak tegas memberi hukuman terhadap yang enggan berzakat bahkan memeranginya. Dan selanjutnya pengelolaan zakat dilakukan oleh pemerintah sampai pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Pengelola zakat ini dikenal dengan nama amil zakat.
Amil zakat adalah orang yang bertugas mengumpulkan dan mengelola zakat. Tujuan dari adanya amil zakat adalah untuk lebih fokusnya perhatian terhadap pelaksanaan zakat. Sejarah membuktikan keberadaan amil zakat dan ketaatan para muzakki menjadi salah satu penyumbang bagi kemandirian material umat Islam.
Indonesia sebagai negara dengan komunitas muslim terbesar di dunia telah juga memperhatikan persoalan pengelolaan zakat ini. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, yang di wujudkan dengan dibentuknya Badan Amil Zakat. Dalam pasal 8 undang-undang ini dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat bertugas untuk mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Pelaksanaan terhadap undang-undang ini selanjutnya di atur dalam keputusan menteri Agama Republik Indonesia No 373 tahun 2003 yang dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa BAZ meliputi Badan Amil Zakat Nasional, daerah Kabupaten /Kota sampai daerah Kecamatan. Hal ini merupakan usaha yang serius dari pemerintah, dengan tujuan agar masyarakat dapat menunaikan zakat sesuai tuntunan agama, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dan akhirnya bermuara pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Maka, sebagai perwujudan dari undang-undang tersebut, Bukittinggi yang merupakan daerah Kota, telah terdapat Badan Amil Zakat berdasarkan penjabaran dari Kepmenag No 373 tahun 2003, yaitu lahirnya Peraturan Daerah Kota Bukittinggi No 29 tahun 2004, tentang pengelolaan zakat. Badan Amil Zakat menjalankan amanah undang-undang untuk menjadi lembaga pengelolaan zakat untuk wilayah kota Bukittinggi, berdasarkan tujuan pembentukannya.
Namun jika kita lihat kondisi dilapangan, Badan Amil Zakat belum berperan secara optimal dalam menampung zakat dari pada muzakki. Terbukti, menurut keterangan Prof. DR. H. A. Rahman Ritonga, MA selaku ketua Badan Pelaksana Amil Zakat Kota Bukittinggi dalam sebuah wawancara, menyatakan bahwa potensi zakat di Kota Bukittinggi berkisar Rp. 6 Milyar setiap tahun. Sementara, yang terdaftar pada kas Badan Amil Zakat sendiri masih berkisar Rp. 200 juta.
Berdasarkan perbandingan yang sangat jauh tersebut, bisa disimpulkan bahwa Bukittinggi adalah Kota yang mempunyai potensi zakat besar dan menjanjikan. Salah satunya potensi zakat profesi. Beragam profesi yang terkena wajib zakat seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), dokter, advokat, kontraktor dan lain-lain, adalah salah satu aset zakat terbesar terdapat di Kota ini. Namun, pemasukan zakat yang sudah tersalur ke Badan Amil Zakat masih dari kalangan Pegawai Negeri Sipil, dan itupun belum maksimal. Prof. Rahman selanjutnya mengatakan seandainya masing-masing PNS menzakatkan 1 persen saja dari penghasilan tetap mereka berarti sudah terkumpul zakat Rp 90 juta tiap bulan . Zakat dari Pegawai Negeri Sipil ini baru satu kelompok dari kalangan profesional yang wajib zakat di kota Bukittinggi, karena seperti diuraikan tadi, profesi dokter, advokat dan kontraktor belum menyalurkan zakat ke Badan Amil Zakat. Hal ini memunculkan dua kemungkinan, yaitu para muzakki tidak melaksanakan kewajiban membayar zakat terhadap hasil yang diperoleh dari profesi mereka, atau zakat tersebut tidak disalurkan melalui Badan Amil Zakat.
Kesadaran akan kewajiban berzakat melalui Badan Amil Zakat belum terwujud pada sebagian besar PNS sehingga zakat profesi ini belum terkelola dengan baik, begitupun terhadap profesi lainnya. Bisa kita bayangkan berapa dana yang akan diberdayakan secara efektif dan efisien oleh Badan Amil Zakat sekiranya zakat profesi disalurkan ke Badan Amil Zakat, tentunya percepatan perbaikan perekonomian umat, khususnya bagi para mustahiq zakat, bisa diwujudkan secara optimal. Hal ini mengingat masih banyaknya mustahiq zakat di daerah kota Bukittinggi, sementara zakat yang ada belum memadai untuk mensejahterakan para mustahiq.
Fenomena yang terjadi hari ini bukanlah kondisi akhir bagi masa depan zakat profesi, karena ada usaha-usaha yang memungkinkan untuk dilakukan dari pemerintah, termasuk dari Badan Amil Zakat yang memang terkonsentrasi untuk hal ini. Penjelasan pasal 8 UU No 38 tahun 1999, menyatakan agar tugas pokok dapat lebih berhasil guna dan berdaya guna, Badan Amil zakat perlu melakukan tugas lain, seperti penyuluhan dan pemantauan. Maka, Badan Amil Zakat menjadi pihak yang memiliki posisi strategis untuk terwujudnya pelaksanaan zakat secara maksimal. Jika tugas ini telah terlaksana dengan semestinya tentunya akan berdampak bagi penyaluran zakat profesi, namun jika dilihat kenyataan seperti yang disampaikan oleh Rahman diatas, agaknya masih belum terwujud. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti usaha Badan Amil Zakat dalam peningkatan pelaksanaan zakat profesi, dalam sebuah karya tulis yang berjudul ”Fungsionalisasi Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Bukittinggi Dalam Membangun Kesadaran Wajib Zakat Profesi.”

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, masalah pokok yang muncul dan yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah bagaimana Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi menjalankan tugas dan fungsinya dalam membangun kesadaran wajib zakat profesi?
Untuk mengarahkan permasalahan, maka penulis membatasi masalah ini dengan :
1. Bagaimana Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi menjalankan tugasnya sebagai pemungut zakat profesi dari para muzakki?
2. Bagaimana Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi menjalankan fungsi penyadaran terhadap muzakki akan wajibnya zakat profesi?

C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui sejauh mana Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi menjalankan tugasnya sebagai pemungut zakat profesi dari para muzakki.
2. Mengetahui apa saja usaha Badan amil Zakat Kota Bukittinggi dalam menjalankan fungsi penyadaran terhadap muzakki akan wajibnya zakat profesi.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
a. Untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna mencapai gelar S.HI pada program Studi al-Ahwal al Syakhshiyah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sjech. M. Djamil Djambek Bukittinggi.
b. Sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini secara khusus dan untuk masyarakat muslim secara umum.


D. Penjelasan Judul
Untuk menghindari kesalahan pemahaman judul ini maka penulis akan menjelaskan:
Fungsionalisasi : Berkata dasar fungsional yang berarti menurut fungsi atau kedudukan. Diberi akhiran -isasi menjadi kata kerja yang kurang lebih berarti bagaimana sesuatu berfungsi atau berguna untuk mencapai tujuan sesuai fungsinya.
Badan Amil zakat : Organisasi pengelolaan zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur-unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Zakat profesi : Zakat atas penghasilan sebagai imbalan dari pekerjaan atau jasa yang dilakukan seperti seorang karyawan menerima gaji, upah dan lain-lain.
Jadi maksud dari judul penelitian ini adalah menjelaskan peran fungsi Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi dalam membangun kesadaran muzakki zakat profesi untuk mengeluarkan zakat.



E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan atau metode kualitatif. Dalam mengumpulkan dan menganalisa data ditentukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sumber data
a. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Bukittinggi. Dalam penelitian kualitatif ini, sumber data di posisikan sebagai narasumber atau pemilik informasi karena itu ia disebut informan dengan kata lain disebut subjek yang diteliti, karena ia bukan saja sebagai narasumber, melainkan juga aktor pelaku yang ikut menentukan berhasil tidaknya sebuah penelitian berdasarkan informasi yang diberikan.
b. Dokumen atau arsip
Yaitu bahan tertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktifitas tertentu. Dalam penelitian ini penulis juga akan memperoleh data dari Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi, disamping data-data dari sumber lain dimana penulis bisa mendapatkan informasi tentang kinerja Badan Amil Zakat.
2. Teknik pengumpulan data
Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan, maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Dalam hal pengumpulan data mengenai fungsionalisasi Badan Amil Zakat ini penulis melakukan observasi langsung terhadap kegiatan pengumpulan zakat dan usaha penyadaran terhadap para muzakki yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi.
b. Wawancara, yaitu tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung untuk mendapatkan informasi atau data yang diinginkan. Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur atau terpimpin. Penulis mewawancarai narasumber dengan menetapkan sendiri pertanyaan yang akan diajukan.
Dalam menetukan nara sumber yang akan diwawancarai penulis menentukan satu orang key informant (narasumber kunci) untuk diwawancarai selanjutnya key informant ini yang menentukan narasumber lain yang tepat untuk diwawancarai dalam mendapatkan data yang akurat dan berimbang dalam penelitian ini. Key informant dalam penelitian ini adalah ketua Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi.
3. Teknik analisa data
Setelah data dikumpulkan di lapangan secara lengkap kemudian data tersebut diolah dan dianalisa dengan cara sebagai berikut:
1. Deduktif, yaitu menganalisa data berangkat dari pengetahuan umum dan bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum itu dinilai kejadian yang bersifat khusus.
2. Induktif, yaitu menganalisa data berangkat dari fakta-fakta yang sifatnya khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
3. Komparatif, yaitu menganalisa suatu masalah melalui analisa terhadap faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti dan membandingkan satu faktor dengan faktor yang lain.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan diperlukan untuk lebih jelas dan memudahkan pemahaman para pembaca dan agar lebih terarahnya penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini dibagi 4 bab, pada tiap-tiap bab dapat dirinci ke dalam beberapa sub bab, yaitu:
Bab I, penulis mengemukakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, penjelasan judul, tujuan dan kegunaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Selanjutnya bab II, penulis menguraikan zakat profesi dan permasalahannya, yang membahas pengertian zakat profesi, diskursus ulama seputar zakat profesi, syarat-syarat zakat profesi, macam-macam hasil usaha profesi yang wajib dizakatkan, dan pengelolaan zakat.
Sedangkan bab III, merupakan hasil penelitian yang akan menjelaskan deskripsi singkat Kota Bukittinggi, deskripsi Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi, fungsionalisasi Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi dalam membangun kesadaran wajib zakat profesi, dan analisa penulis.
Kemudian bab IV merupakan penutup, berisikan kesimpulan pembahasan-pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran.



















OUT LINE

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
D. Penjelasan Judul
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan

BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Zakat Profesi
B. Diskursus Ulama Seputar Zakat Profesi
C. Syarat Zakat Profesi
1. Syarat wajib zakat profesi
2. Syarat sah zakat profesi
D. Macam-Macam Hasil Usaha Profesi Yang Wajib Zakat
E. Pengelolaan Zakat
1. Sejarah Pengelolaan Zakat
2. Badan Amil Zakat Sebagai Pengelola Zakat Di Indonesia




BAB III HASIL PENELITIAN
A. Profil Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi
1. Deskripsi Singkat Kota Bukittinggi
2. Deskripsi Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi
a. Struktur Organisasi Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi
b. Tugas Pokok Dan Fungsi Pengurus Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi
c. Visi Dan Misi Badan Amil Zakat Kota Bukittinggi
d. Jumlah Pemasukan dan Penyaluran Zakat
B. Fungsionalisasi BAZ Kota Bukittinggi dalam membangun kesadaran wajib zakat profesi
1. Membuat rencana kerja dan program kerja pengumpulan zakat.
2. Melaksanakan operasional pengumpulan zakat.
3. Membuat laporan tahunan dan menyampaikan laporan Tahunan kepada Walikota dan DPRD.
4. Bertindak dan bertanggung jawab untuk dan atas nama BAZ kedalam maupun keluar organisasi.
C. Analisa Penulis

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran














DAFTAR KEPUSTAKAAN

MDJ al-Barry dan Sofyan Hadi A.T. Kamus Ilmiah Kontemporer, Bandung : Pustaka Setia, 2000

Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji. Peraturan Perundang undangan Pengelolaan Zakat. Jakarta : Dirjen Bimas, 2004

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1987 cet. Ke 2

al-Jaziri, Abdurrahman. Fiqih Empat Mazhab. Pen Prof. DR. Chatibul Umam dan Abu Hurairah. Judul Asli “ Al-Fiqh fi al Mazahib al Arba’ah “Jakarta : Darul Ulum Press, 2002 cet. Ke 2

Mujieb, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1994

PadangKini.com akses tanggal 23 Maret 2009

Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologo Penelitian Sosial Agama. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001 cet. Ke 1

Winarno Surachmat, Winarno Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: P.T. Tarsito, 1985

Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta : bumi Aksara, 2006 cet. Ke 6