Selasa, Desember 01, 2009

BAB II (B)

B. Diskursus Ulama Seputar Zakat Profesi
Pada zaman Rasulullah SAW sudah banyak profesi keahlian atau pengkhususan pekerjaan kepada ahlinya. Seperti Bilal bin Rabah yang berprofesi sebagai muadzin, Bahkan beliaupun pernah bersabda bahwa bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya (profesinya), maka tunggulah kehancurannya. Rasulullah SAW tidak pernah menerapkan zakat profesi di masa itu, sementara sekian jenis profesi dan spesialisasi telah ada. Bahkan sampai sekian abad kemudian, umumnya para ulama pun tidak pernah menuliskan adanya zakat profesi di dalam kitab-kitab fiqih dalam bab khusus.
Maka, mengenai hukum zakat profesi terdapat dua pendapat ulama, yaitu zakat profesi wajib dengan bersyarat, apabila telah berlalu satu tahun dan cukup nisab. Karena, kaedah umum dalam penerapan zakat menurut jumhur ulama adalah cukup haul, nisab dan zakat bebas dari utang. Ulama yang menyepakati hal ini adalah ulama empat mazhab, yang diikuti oleh Khafnawi. Sementara pendapat berikutnya adalah pendapat dari sebagian sahabat yaitu Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud dan Mu’awiyah, sebagian tabi’in yaitu Umar bin Abdul Aziz, serta pendapat Ibnu Hazm dan DR. Yusuf al Qardhawi.
Dasar hukum zakat profesi diperoleh dari al Qur’an, sunnah, dan pendapat para ulama.
1. Al Qur’an
a. Surat al Baqarah ayat 267:
                           •    
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Ayat ini menjelaskan bahwa orang beriman diperintahkan untuk menafkahkan harta dengan beberapa ketentuan yaitu harta yang baik-baik, namun tidak semua, cukup sebagian saja. Selanjutnya dijelaskan bahwa harta yang dinafkahkan itu adalah hasil usaha dan harta yang telah Allah keluarkan dari bumi. Perintah menafkahkan harta merupakan perintah wajib dan dapat dipahami dalam ayat berdasarkan keumuman lafaz “ma kasabtum” (apa-apa saja yang kamu usahakan). Jadi, diwajibkan untuk menzakatkan hasil usaha, apapun bentuknya. Zakat hasil usaha ini di sebut juga zakat profesi. Menurut ilmu ushul fiqh (metodologi hukum Islam), untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diatur oleh nash (al-Quran dan Sunnah) secara jelas ini, dapat diselesaikan dengan jalan mengembalikan persoalan tersebut kepada al-Quran dan sunnah itu sendiri. “Apa saja yang kamu usahakan” dalam ayat di atas pada dasarnya bersifat umum, namun ulama kemudian membatasi pengertiannya terhadap beberapa jenis usaha atau harta yang wajib dizakatkan, yakni harta perdagangan, emas dan perak, hasil pertanian dan peternakan. Pengkhususan terhadap beberapa bentuk usaha dan harta ini tentu saja membatasi cakupan lafaz umum pada ayat tersebut sehingga tidak mencapai selain yang disebutkan tersebut. Untuk menetapkan hukum zakat profesi, lafaz umum tersebut mestilah dikembalikan kepada keumumannya sehingga cakupannya meluas meliputi segala usaha yang halal yang menghasilkan uang atau kekayaan bagi setiap muslim. Dengan demikian zakat profesi dapat ditetapkan hukumnya wajib berdasarkan keumuman ayat di atas. Secara redaksional, hakikatnya objek zakat yang utama diwajibkan dalam ayat ini adalah zakat profesi, karena Allah memerintahkan untuk mengeluarkan hasil usaha yang baik-baik, seperti usaha sebagai dokter, guru, penulis, pengacara, dan lain-lain yang termasuk usaha-usaha yang halal dilakukan. Setelah itu, baru Allah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat dari apa-apa yang Allah keluarkan dari bumi seperti tanaman, buah-buahan dan barang tambang. Ahmad Rofiq, dalam menguraikan jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan, menempatkan zakat profesi pada urutan pertama, kemudian baru objek zakat lainnya.
b. Selanjutnya juga terdapat dalam surat al Baqarah ayat 254 :
                     
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at, dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.

Berdasarkan ayat diatas, diperoleh petunjuk bahwa menafkahkan hasil usaha, yaitu rezki yang telah diberikan oleh Allah adalah perintah wajib.



2. As Sunnah
a. Hadits riwayat muttafaqun ‘alaih
عَن بْنِ عَبَّاسٍ ر.ض أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ الْحَدِ يْثَ وَفِيْهِ: إِنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَ قَةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنَيْائِهِمْ فَتُرَدُّ إِلَى فُقَرَائِهِمْ (متفق عليه واللفظ للبخارى)
Dari Ibnu Abbas Ra, bahwa sesungguhnya Rasulullah S.A.W mengutus Mu’adz ke negri Yaman. Beliau berpesan sesungguhnya Allah mewajibkan zakat kepada mereka yang kaya untuk diberikan kepada para fakir miskin (Hadits riwayat muttafaqun ‘alaih, lafazh dari Bukhari)

Hadist diatas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mewajibkan orang kaya untuk mengeluarkan zakat. Dalam Islam ditetapkan ukuran bagi seseorang untuk bisa dianggap kaya yaitu 12 junaih emas menurut ukuran junaih Mesir lama. Maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena wajib zakat sehingga jelas perbedaan antara orang kaya dan orang miskin. Dalam ketentuan tentang zakat, ditentukan kadar kekayaan minimal yang dimiliki oleh seseorang sehingga dia wajib mengeluarkan zakat, yang disebut nisab. Maka jika seseorang memiliki profesi yang penghasilannya mencapai ukuran nisab zakat profesi, ia sudah tergolong kaya dan terkena wajib zakat.



b. Hadits Riwayat Bukhari
عَنْ اَبِى مُوْسَى الْأَشْعَرِى عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ:عَلَى كُلِ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ. فَقَا لُوْا يَا نَبِيَّ ا للهِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ؟, قَالَ: يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ, قََا لُوْا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ؟ قَالَ: يُعِيْنُ ذَاالْحَاجَةِ الْمَلْهُوْفِ. قَا لُوْا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِتعْ؟ قَالَ: فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوْفِ وَلْيَمْسِكْ عَنِ الشَّرِ, فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ

"Setiap orang Muslim wajib bersedekah." Mereka bertanya, "Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya?” Beliau menjawab, "Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah." Mereka bertanya, "Kalau tidak punya pekerjaan?" Beliau bersabda, "Tolong orang yang meminta pertolongan." Mereka bertanya, "Bagaimana bila tidak bisa?" Beliau menjawab, "Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelekan, hal itu merupakan sedekahnya."(Hadits Riwayat Bukhari)

Hadits diatas menegaskan pentingnya bagi setiap muslim untuk mengorbankan sebagian hartanya, namun jika tidak ada harta untuk diberikan, Rasulullah memotivasi untuk berusaha sehingga dengan usaha itu seseorang dapat memperoleh penghasilan, dan bahkan jika seseorang tidak bisa memperoleh penghasilan, dia diperintahkan untuk memberikan apa yang dimilikinya yang bukan dalam bentuk materi, yaitu dengan melakukan kebaikan. Maka, dalam hal ini, amat pantas kiranya jika seseorang memperoleh harta dari keahlian yang dimilikinya, untuk mengeluarkan sedekahnya berupa zakat.

3. Pendapat para ulama
Sebagaimana diuraikan diatas, ulama berbeda pendapat mengenai kapan dikeluarkan zakat profesi, yaitu :
a. Wajib mengeluarkan zakat profesi dengan persyaratan cukup nisab dan telah berlalu satu tahun Qamariah
Ulama mujtahid mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Hanbali, dalam pembahasan mereka tentang zakat, tidak memuat ketentuan tentang zakat profesi. Dalam kitab al Fiqh ala al Mazahib al Arba’ah menyatakan bahwa harta-harta yang wajib dizakatkan hanyalah lima jenis harta saja, yaitu emas perak, binatang ternak, barang dagangan, barang tambang dan rikaz, serta tanaman dan buah-buahan. Namun dalam kitab fikih beliau, Wahbah al Zuhaili menyatakan telah tetap dalam mazhab yang empat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada al maal al mustafad kecuali apabila telah cukup nisab dan telah berlangsung selama satu tahun. Karena, seseorang menerima profesi adakalanya bulanan, seperti penerimaan gaji para pegawai, insinyur, atau dokter yang menerima penghasilan tidak menentu sehingga tidak akan tercapai satu tahun, karena ada kemungkinan akan habis diakhir tahun karena kebutuhan mereka, sehingga tidak akan tercapai nisab yang mewajibkan zakat. Berikut ini uraian pendapat para ulama tentang kewajiban berlalu satu tahun:
1) Pendapat Imam Mazhab
Ibnu Hazm dalam al- Muhalla menyatakan bahwa empat imam mazhab memiliki pendapat yang cukup beragam tentang penetapan waktu setahun. Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak, meski satu jam menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat Tetapi bila binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun induknya baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun belum mencapai nisab. Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun.



2) Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Ibnu Qayyim dan Ibnu Rusyd berpendapat bahwa zakat profesi dikeluarkan apabila telah cukup waktu satu tahun qamariyah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
عَنْ عَلىِ عَلَيْهِ السَلاَمُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م إِذَاكَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍِ وَحَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْئٌ حَتَّى يَكُوْنَََُ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا وَحَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ فَفِيْهَانِصْفُ دِيْنَارٍ فَمَازَادَفَبِحِسَا بِ ذَالِكَ وَلَيْسَ فِى مَالٍِ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ (رواه البخارى)
Jika engkau sudah memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu selama satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak lima dirham. Tidak wajib zakat sampai melebihi dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun maka zakatnya setengah dnar. Jika lebih maka di hitung berdasarkan kelebihannya. Dan tidak ada kewajiban zakat terhadap harta apapun sebelum sampai satu tahun. (Hadits Riwayat Bukhari)

Dari hadits diatas dijelaskan bahwa jenis harta apapun, apabila telah mencapai nisab, tidak dikenai kewajiban zakat kecuali apabila telah lewat satu tahun.
Beberapa argumentasi dikemukakan oleh Ibnu Qayyim tentang pengeluaran zakat hanya wajib apabila telah lewat waktu satu tahun, diantarannya :
a) Amalan sahabat yang melakukan pemungutan harta terhadap penduduk sebagai zakat sekali dalam setiap tahunnya.
b) Logisnya, harta terlihat perkembangannya minimal dalam waktu satu tahun. Alasan perkembangan harta ini menjadi penentu karena salah satu syarat harta yang wajib dizakatkan adalah berkembang, atau memiliki potensi untuk berkembang. Zakat profesi dalam hal ini berupa uang, maka uang tunai memiliki potensi untuk berkembang, seperti digunakan sebagai investasi.
c) Mencapai keadilan. Syariat membebankan suatu kewajiban tidak bersifat untuk menaganiaya, namun untuk kemaslahatan bagi semua pihak. Zakat yang dikeluarkan dalam waktu cukup satu tahun akan meringankan pihak muzakki jika dibandingkan harus dikeluarkan setiap bulan, bahkan setiap minggu. Dan jika zakat dikeluarkan lebih dari jangka waktu satu tahun pengeluarannya, maka akan menyiksa para mustahiq zakat.
Berdasarkan dalil-dalil diatas, golongan yang pertama ini berkesimpulan bhwa zakat profesi wajib dikeluarkan apabila telah berlangsung selama satu tahun.
b. Wajib mengeluarkan zakat profesi pada saat diterima.
Hal ini berdasarkan pendapat sebagian sahabat (Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud dan Mu’awiyah), sebagian tabi’in yaitu Umar bin Abdul Aziz, serta pendapat Ibnu Hazm dan DR. Yusuf al Qardhawi. Ibnu Hazm, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah dan Dr. Yusuf al Qardhawi berpendapat bahwa zakat profesi wajb dikeluarkan pada waktu menerimanya, apabila sudah cukup nisab.
1) Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kewajiban mengeluarkan zakat profesi pada waktu menerimanya, berdasarkan riwayat Ibnu Syaibah dan Malik dari Ibnu Abbas, bahwa kewajiban pengeluaran zakat setiap harta benda yang dizakati adalah jika yang memilikinya adalah seorang muslim. Jadi, zakat dari harta penghasilan harus segera dikeluarkan zakatnya tanpa menunggu satu tahun. Sementara hadits yang menjelaskan tentang pengeluaran zakat harus disyaratkan berlalunya waktu satu tahun, menurut hasil takhrij dari Ibnu Hazm, hadits tersebut berstatus mauquf sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Beberapa riwayat dari kalangan sahabat yang menunjukkan bahwa zakat profesi dikeluarkan segera saat menerimanya, tanpa harus menunggu waktu satu tahun, yaitu:
a) Ibnu Abbas
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya."
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm.
Hal itu menunjukkan ketiadaan ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Abu Ubaid berpendapat bahwa riwayat Ibnu Abbas ini bersifat umum untuk seluruh jenis zakat, termasuk zakat hasil usaha profesi.
b) Ibnu Mas'ud
Abu Ubaid meriwayatkan dari Hubairah bin Yaryam bahwa “Abdullah bin Mas'ud memberikan kami keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya.”
Penarikan zakat diatas maksudnya adalah penarikan zakat atas pemberian. Hubairah mengatakan bahwa lbnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah, dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang dengan pengurangan sumber, bukan diambil karena kekayaan asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari pemberian lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari seharusnya. Riwayat Ibnu Mas’ud ini adalah zakat dari pemberian. Hasil pemberian ini termasuk golongan al maal al mustafad menurut Mahmud Ibnu Saud, karena al maal al mustafad terdiri dari dua jenis, yaitu harta yang diperoleh dari usaha (zakat profesi) dan harta yang diperoleh tanpa usaha seperti pemberian (hibah), waris, simpanan dan temuan. Jadi ketetapan wajib zakatnya sama dengan ketetapan wajibnya zakat profesi, berikut syarat-syarat yang terkait padanya juga disyaratkan pada zakat profesi, termasuk wajib dikeluarkan pada saat menerimanya.
c) Mu'awiyah
Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu Mas'ud tersebut, karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.
Mu'awiyah mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam Negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Zaman Mu'awiyah penuh dengan kumpulan para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu'awiyah melanggar hadis Nabi atau ijmak yang dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu'awiyah tentang masalah lain, ketika Mu'awiyah memungut setengah sha' gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha' bukan gandum, seperti diberitakan hadis Abu Said al-Khudri sedangkan Mu'awiyah sendiri, meski dikatakan bahwa ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah, tidak bermaksud menyanggah sunnah yang tegas dari Rasulullah SAW.
d) Umar Bin Abdul Aziz
Empat periode Mu'awiyah, datanglah pembaharu seratus tahun pertama yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru yang diterapkannya adalah pemungutan zakat dari pemberian, hadiah, barang sitaan, dan lain-lain.
Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima.
Dengan demikian, ucapan 'umalah adalah sesuatu yang diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan karyawan pada masa sekarang. Harta sitaan (mazhalim) ialah harta benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak benar pada masa-masa yang telah silam dan pemiliknya menganggapnya sudah hilang atau tidak ada lagi, yang bila barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya merupakan penghasilan baru bagi pemilik itu. Pemberian (u'tiyat) adalah harta seperti honorarium atau biaya hidup yang dikeluarkan oleh Baitul mal untuk tentara Islam dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz memungut zakat pemberian dan hadiah. Itu adalah pendapat Umar. Bahkan hadiah-hadiah atau bea-bea yang diberikan kepada para duta baik sebagai pemberian, tip, atau kado, ditarik zakatnya. Hal itu sama dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara sekarang dalam pengenaan pajak atas hadiah-hadiah tersebut.
2) Yusuf al Qardhawi
Yusuf Qardhawi sebagai pakar fiqh kontemporer bardasarkan penelitiannya terhadap berbagai macam pendapat ulama mengenai ketentuan satu tahun terhadap pembayaran zakat profesi, dengan mempertimbangkan setelah diperbandingkan pendapat-pendapat di atas dengan alasan masing-masing, meneliti nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, memperhatikan hikmah dan maksud pembuat syariat mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan umat Islam pada masa sekarang ini, maka beliau berkesimpulan bahwa harta hasil usaha seperti gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan yang lain yang mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, kapal terbang, percetakan, tempat-tempat hiburan, dan lain-lainnya, wajib terkena zakat persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima. Beberapa alasan atau argumentasi yang beliau kemukakan dalam karya beliau, Hukum Zakat adalah :
a) Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum syara' yang berlaku umum bagi umat. Hal itu berdasarkan ketegasan para ulama hadis dan pendapat sebagian para sahabat yang diakui kebenarannya sebagaimana telah diterangkan.
b) Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan, sebagian mensyaratkan adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak mensyaratkan satu tahun itu sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada waktu harta penghasilan tersebut diterima oleh seorang muslim. Perbedaan mereka itu tidak berarti bahwa salah satu lebih baik daripada yang lain, oleh karena itu maka persoalannya dikembalikan pada nash-nash yang lain dan kaedah- kaedah yang lebih umum, misalnya firman Allah: "Apabila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Quran) dan kepada Rasul (hadis)." (An-Nisa: 59).
c) Ketiadaan nash ataupun ijma’ dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat mazhab-mazhab yang ada berselisih pendapat tajam sekali, yang mengakibatkan Ibnu Hazm sampai menilainya sebagai dugaan-dugaan saja, merupakan pertentangan-pertentangan dan bagian-bagian yang saling bertentangan yang tidak ada dasar kebenarannya, tidak dari al Quran atau hadis shahih atau riwayat yang ada cela sekalipun, maupun dari Ijma’ dan Qiyas, dan dari pemikiran dan pendapat yang kira-kira dapat diterima. Al Qardawi sudah melakukan penjajagan atas perbedaan-perbedaan pendapat antara mazhab-mazhab, metode dan perbedaan pentashihan dan pentarjihan masing-masing mazhab. Beliau menemukan pula berpuluh-puluh persoalan dan persoalan lebih jauh yang ditimbulkannya mengenai harta penghasilan itu, digabungkankah penghasilan itu dengan harta induknya atau tidak, ataukah sebagian digabungkan dan sebagian lagi tidak. Penggabungan tersebut dalam hal nisab, tahun, ataukah dalam keduanya. Beberapa diskusi berkisar mengenai masalah itu dalam hal zakat binatang, zakat uang, zakat perdagangan, dan persoalan-persoalan kecil lainnya, semuanya itu membuat beliau menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana dan berbicara untuk seluruh umat manusia membawa persoalan-persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh umat.
d) Mereka yang tidak mensyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang berlaku umum dan tegas di atas daripada mereka yang mensyaratkannya, karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik dalam al Quran maupun dalam sunnah datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat didalamnya persyaratan setahun. Misalnya, "Berikanlah seperempat puluh harta benda kalian," Harta tunai mengandung kewajiban seperempat puluh dan dikuatkan oleh keumuman firman Allah "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian." (al-Baqarah: 267) Kata ma kasabtum merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha seperti perdagangan, atau pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih berpegang kepada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai landasan zakat penghasilan dan profesi. Bila para ulama fikih telah menetapkan setahun sebagai syarat wajib zakat perdagangan, maka itu berarti bahwa antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak boleh dipisahkan karena laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.
e) Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan satu tahun sebagai syarat harta penghasilan wajib zakat, qiyas yang benar juga mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang muslim diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. Maka bila kita memungut dari petani meskipun sebagai penyewa, sebanyak sepersepuluh atau seperdua puluh hasil tanaman atau buah-buahannya, mengapakah kita tidak boleh memungut dari seorang pegawai atau seorang dokter, umpamanya, sebanyak seperempat puluh penghasilannya? Bila Allah menyatukan penghasilan yang diterima seseorang muslim dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, yaitu "Hai orang- orang yang beriman keluarkanlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang kami keluarkan untuk kalian dari tanah," mengapakah kita membeda-bedakan dua masalah yang di atur Allah dalam satu aturan sedangkan kedua-duanya adalah rezeki dan nikmat dari Allah? Benar, bahwa nikmat Allah dalam hasil tanaman dan buah-buahan lebih kentara dan mensyukurinya lebih wajib, namun demikian tidak berarti bahwa salah satu pendapatan tersebut tegas wajib zakat sedangkan yang satu lagi tidak. Perbedaannya cukup dengan bahwa pembuat syariat mewajibkan zakat dari hasil tanah sebesar sepersepuluh atau seperdua puluh sedangkan pada harta penghasilan berupa uang atau yang senilai dengan uang-sebanyak seperempat puluh.
f) Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti membebaskan sekian banyak pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi dua golongan saja, yaitu menginvestasikan pendapatan mereka terlebih dahulu dalam berbagai sektor, atau berfoya-foya bahkan menghamburkan semua penghasilannya itu kesana-sini sehingga tidak mencapai masa wajib zakatnya. Itu berarti hanya membebankan zakat pada orang-orang yang hemat dan ekonomis saja, yang membelanjakan kekayaannya seperlunya, tidak berlebih-lebihan tetapi tidak pula kikir, yang berarti mereka menyimpan penghasilan mereka sehingga mencapai masa zakatnya. Hal itu jauh sekali dari maksud kedatangan syariat yang adil dan bijak, yaitu memperingan beban orang-orang pemboros dan memperbuat beban orang-orang yang hemat.
g) Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat Islam mewajibkan zakat Misalnya, Seorang petani yang menanam tanaman pada tanah sewaan, hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10% atau 5% bila sudah mencapai 50 kila Mesir, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab yang ada, sedangkan pemilik tanah yang dalam sejam kadang-kadang memperoleh beratus-ratus atau beribu-ribu dinar berupa uang sewa tanah tersebut, tidak dikenakan zakat, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab yang ada, karena adanya persyaratan setahun bagi penghasilan tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur, advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dan lain-lainnya. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang terlalu mengagungkan pendapat-pendapat fikih yang tidak terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para ulama. Kita tidak yakin, bila mereka hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan apa yang kita saksikan, apakah mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak masalah, seperti yang hanyak kita temukan dalam riwayat para imam.
h) Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima, diantaranya gaji, upah, penghasilan dari modal yang ditanamkan pada sektor selain perdagangan, dan pendapatan para ahli, akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang yang berhak lainnya, menambah besar perbendaharaan zakat, disamping menambah perbendaharaan negara dan pemiliknya dapat dengan mudah mengeluarkan zakatnya. Hal itu dengan pemungutan zakat gaji para pegawai dan karyawan tersebut oleh pemerintah atau yayasan-yayasan melalui cara yang dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan penahanan pada sumber, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah serta Umar bin Abdul Aziz dalam memotong pemberian yang mereka berikan. Maksud kata "pemberian" disini adalah gaji para tentara dan orang-orang yang di bawah kekuasaan negara pada masa itu. Abu Walid Baji mengatakan bahwa, pemberian menurut syara' adalah pemberian dari kepala negara kepada seseorang dari baitul mal berbentuk nafkah hidup (gaji). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hubaira bahwa Ibnu Mas'ud memotong pemberian yang mereka terima sebesar dua puluh lima dari tiap seribu. Hal itu diriwayatkan pula oleh at-Tabrani darinya juga. Dari 'Aun dari Muhammad, "Saya melihat para penguasa bila memberikan gaji, memotong zakatnya. Dari Umar bin Abdul Aziz, bahwa ia mengeluarkan zakat pemberian dan hadiah. Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab, bahwa orang yang pertama kali memungut zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Tampaknya yang ia maksudkan adalah khalifah pertama yang memungut zakat pemberian, sedangkan sebenarnya sudah ada orang yang mengambil zakat pemberian sebelum itu, yaitu Abdullah bin Mas'ud sebagaimana dijelaskan.
i) Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim, sesuai pula dengan kemanusiaan yang harus ada dalam masyarakat, ikut merasakan beban orang lain, dan menanamkan agama tersebut menjadi sifat pribadi unsur pokok kepribadiannya. Allah berfirman tentang sifat-sifat orang yang bertakwa, "dan sebagian apa yang kami berikan kepada mereka, mereka nafkahkan." Allah juga berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian apa-apa yang kami berikan kepada kalian." Untuk itu, Nabi SAW. mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengorbankan sebagian hartanya, penghasilannya, atau apa saja yang ia korbankan. Pembebasan penghasilan-penghasilan yang berkembang sekarang tersebut dari sedekah wajib atau zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja, dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan berusaha.
j) Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan lebih menguntungkan pemasukan zakat secara pasti dan pengelolaannya dilihat dari pihak orang yang wajib mengeluarkan zakat dan dari segi administrasi pemungutan zakat. Hal itu oleh karena bagi yang berpendapat satu tahun sebagai syarat zakat, menyebabkan setiap orang yang mendapatkan penghasilan sedikit atau banyak berupa gaji, honorarium atau penghasilan kekayaan tak bergerak, atau jenis pendapatan yang lain, harus menentukan masa jatuh tempo pengeluaran setiap jumlah kekayaannya, lalu bila sampai masa tempo setahunnya itu dikeluarkanlah zakatnya. Ini berarti, bahwa seorang muslim kadang-kadang bisa mempunyai berpuluh-puluh masa tempo masing-masing kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang dengan demikian zakat tidak bisa terpungut dan sulit dilaksanakan.
Berdasarkan dua dikskursus dari ulama diatas, maka penulis berpendapat bahwa pengeluaran zakat profesi tidak perlu menunggu waktu setahun, karena berdasarkan riwayat-riwayat kuat tentang praktek para sahabat dalam mengeluarkan dan memungut zakat dari harta hasil usaha, serta lemahnya hadits tentang ketentuan setahun untuk mengeluarkan zakat.

Tidak ada komentar: