Selasa, Desember 01, 2009

BAB II (D&E)

D. Macam-Macam Hasil Usaha Profesi Yang Wajib Zakat
Secara umum, hasil usaha profesi yang wajib dizakatkan adalah seluruh usaha-usaha yang baik-baik, baik bersifat perorangan ataupun kelompok. Jika diklasifikasikan, terdapat 2 kelompok hasil usaha profesi yang wajib zakat:
1. Pekerjaan/usaha yang dikerjakan sendiri, tidak terikat dengan negara atau orang lain, berkat kecekatan tangan atau otak.
Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dikenal dengan wiraswasta.

2. Pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang untuk pihak lain.
Pihak lain yang dimaksud seperti orang yang pekerjaannya terkait dan terikat dengan pemerintah, yayasan atau badan usaha umum. Orang-orang tersebut berkerja dengan tenaga ataupun otak. Penghasilan dari pekerjaan seperti ini berupa gaji, upah ataupun honorarium.
Dari dua kelompok jenis usaha profesional di atas dikenai kewajiban zakat, apabila orang dan harta hasil usahanya telah memenuhi kriteria sebagai wajib zakat yang telah diuraikan sebelumnya.
E. Pengelolaan Zakat
1. Sejarah Pengelolaan Zakat
Zakat merupakan kewajiban individu, namun dalam pelaksanaannya terdapat wewenang atau campur tangan orang lain untuk memungutnya. Hal ini diperoleh dari isyarat dalam firman Allah surat at-Taubah ayat 60:
                        

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Kata amil zakat yang dimaksud dalam ayat di atas adalah para pengurus zakat. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa pengambilan zakat dilakukan oleh imam, karena jika pemilik harta kekayaan di perbolehkan mengeluarkan zakatnya sendiri-sendiri, tidaklah diperlukan pengurus atau panitia pemungut zakat. Maka keberadaan amil berperan sebagai pengurus zakat.
Amil (panitia zakat) adalah orang-orang yang bekerja memungut zakat. Wahbah al Zuhaily dalam kitab fiqihnya mengkategorikan panitia (amil) zakat sebagai berikut:
a. Al ‘asyir, yaitu orang yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh.
b. Al katib, yaitu penulis.
c. Pembagi zakat untuk para mustahiq dan penjaga harta yang dikumpulkan.
d. Al hasyir, yaitu orang yang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan atau orang-orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat.
e. Al ‘arif, yaitu orang yang ditugasi menaksir orang yang telah memiliki kewajiban untuk berzakat.
Jadi, amil memiliki tugas yang menentukan bagi tersalurnya zakat mulai dari siapa yang wajib mengeluarkan sampai pada orang yang berhak mendapatkannya.
Pendapat mengenai tugas amil ini didukung oleh firman Allah surat at-Taubah ayat 103:
          •        

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Ayat ini merupakan perintah terhadap Rasulullah SAW untuk mengambil zakat dari para orang kaya. Dalam sejarah, penetapan tentang pengelolaan zakat ini belum terlaksana dari awal diwajibkan zakat, namun melalui beberapa tahap, yaitu:
1) Tahun 2 Hijriah, mulai difardhukan zakat bersamaan dengan turunnya perintah zakat dan penegasan dan golongan yang berhak menerima zakat.
2) Tahun 5 Hijriah, Rasulullah mengumumkan ke seluruh daerah tentang kewajiban membayar zakat bagi orang kaya.
3) Tahun 9 Hijriah, mulai adanya campur tangan pemerintah tentang pengelolaan zakat yaitu pengiriman sahabat untuk mengumpulkan zakat dari Tsa’labah dan kaumnya.
Selanjutnya, dalam sejarah sahabat yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shidiq, pemerintah bertindak tegas dengan menyatakan perang bagi orang-orang yang enggan membayar zakat, pemerintahan Abu Bakar bahkan menyatakan bahwa yang enggan berzakat sama dengan orang yang murtad.
Lalu, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, pengelolaan zakat oleh pemerintah terus berlangsung dan ditandai dengan berdirinya baitul mal. Pengelolaan zakat oleh pemerintah terjadi sampai pada masa pemerintahan Ustman Bin Affan, walaupun terhenti pada masa sahabat, namun dalam periode-periode berikutnya seperti pada dinasti Umayyah, Mu’awiyah selaku khalifah melakukan pungutan zakat langsung terhadap rakyatnya.
Dari beberapa riwayat dan dikuatkan oleh dalil-dalil di atas, dapat kita simpulkan bahwa penunjukan pengurus zakat amatlah penting, tapi ada pula ayat yang memberikan indikasi bahwa pemilik harta kekayaan dapat membagikan sendiri zakatnya kepada para mustahiq, yaitu: QS. al-Ma’arij ayat 24-25
    •    

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)

Ayat diatas menjelaskan bahwa dalam harta kekayaan seseorang terdapat hak orang miskin yang meminta dan yang tidak mau meminta. Jadi, pemilik harta boleh memberikan zakat secara langsung.
Berdasarkan ayat-ayat diatas, para ulama merinci penjelasan tentang pembagian zakat, yaitu:

a) Pembayaran zakat diserahkan kepada pemilik harta.
Hal ini diberlakukan jika harta yang akan dizakatkan itu tersembunyi seperti emas, perak, barang dagangan yang disimpan di gudang, dan lain-lain. Namun para pemilik harta harus mengetahui siapa yang berhak menerima zakat dari hartanya, yaitu termasuk mustahiq zakat. Jika tidak, maka hendaknya zakat di serahkan pada amil, supaya kewajiban pemilik harta terlaksana dengan semestinya.
b) Zakat dibayarkan melalui imam (menurut jumhur, yaitu pengikut mazhab Hanafi dan Maliki).
Hal ini diberlakukan jika harta yang hendak di zakatkan tersebut kelihatan, seperti binatang ternak, buah-buahan dan lain-lain. Karena imam yang faqih akan bisa menentukan kadar zakat yang akan dikeluarkan.
Dari dua hal diatas, walau bagaimanapun penyerahan zakat tetap ditentukan oleh pemilik harta. Aturan-aturan di atas, mengenai amil adalah bertujuan supaya besar zakat yang dikeluarkan dan pihak-pihak yang menerima benar menurut syariat.
2. Badan Amil Zakat Sebagai Pengelola Zakat Di Indonesia
a. Latar Belakang Pendirian Badan Amil Zakat
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk menganut agama Islam. Dalam kondisi nasional, seluruh komponen bangsa di tuntut untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk umat Islam yang mayoritas di Indonesia. Hal ini tidak hanya menjadi tuntutan bangsa, namun secara substansi, ajaran Islam juga memerintahkan para muslim untuk membangun umat dan bangsanya.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pembangunan adalah biaya, khususnya bagi Indonesia sebagai negara berkembang. Indonesia sulit untuk menggali biaya dari potensi sendiri dengan pemberdayaan potensi ekonomi. Maka, substansi ajaran Islam memberikan solusi terhadap masalah ini, dengan adanya mekanisme yang bisa digunakan untuk pemberdayaan ekonomi umat, yaitu melalui pranata zakat, infak dan shadaqah.
Dalam Islam, pranata zakat infak dan shadaqah memberikan dukungan paling besar bagi pertumbuhan ekonomi umat, mulai berkembang sejak disyariatkan pada masa Rasulullah SAW dan berlanjut hingga dinasti Abbasyiah. Pengefektifan zakat infak dan shadaqah ini di wadahi oleh lembaga yang bernama baitul mal. Namun dewasa ini khususnya di Indonesia umat Islam sangat asing dengan baitul mal. Maka didirikanlah Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah (BAZIS) untuk membangkitkan kembali semangat baitul mal berdasarkan UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Pelaksanaan terhadap undang-undang ini selanjutnya di atur dalam keputusan menteri Agama Republik Indonesia No 373 tahun 2003.
b. Pengertian Badan Amil Zakat.
Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) atau sekarang disebut dengan Badan Amil Zakat (BAZ) saja, adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur-unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Objek yang menjadi sasaran dalam penerimaan dan pengumpulan oleh Badan Amil Zakat selain zakat adalah infak dan shadaqah. Jika zakat merupakan shadaqah wajib yang dikeluarkan dari harta tertentu, maka infak adalah sebagian harta seseorang yang dikeluarkan untuk kepentingan umum tanpa memperhatikan nisab dan haul. Sedangkan shadaqah adalah sebagian harta seseorang yang beragama Islam yang dikeluarkan untuk kemaslahatan umat Islam.
c. Prinsip-prinsip Pengelolaan pada Badan Amil Zakat.
Prof. H. A. Djazuli mengemukakan 5 prinsip dalam pengelolaan zakat supaya lebih berdaya guna dan berhasil guna, yaitu:
1) Prinsip keterbukaan
Sebagai pengelolaan zakat, Badan Amil Zakat harus melakukan tugas pengelolaan secara transparan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan umat Islam pada lembaga ini, bahwa harta yang telah di berikan memang telah disalurkan kepada golongan yang berhak menerimanya. Apabila hal ini tidak dilakukan secara terbuka maka kepercayaan masyarakat terhadap Badan Amil Zakat akan berkurang sehingga muncul keengganan untuk menyalurkan zakat ke Badan Amil Zakat.
2) Prinsip sukarela
Prinsip sukarela berarti dalam pemungutan zakat, Badan Amil Zakat senantiasa berdasar pada prinsip sukarela dari umat Islam yang menyerahkan harta, tanpa ada unsur pemaksaan. Dalam beberapa ayat memang diterapkan unsur paksaan dalam memungut zakat, namun karena faktor politis dan sosiologis yang belum kondusif, ketentuan al Qur’an belum bisa di wujudkan secara maksimal. Maka, sehubungan dengan prinsip ini hal yang dapat dilakukan Badan Amil Zakat adalah melalui dakwah dengan motivasi yang bertujuan memberikan kesadaran pada umat Islam agar membayarkan kewajibannya.
3) Prinsip keterpaduan
Badan Amil Zakat melakukan tugas dan fungsinya secara terpadu diantara komponen-komponennya. Untuk mewujudkannya diterapkan prinsip manajemen modern, sehingga seluruh komponen bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan kompak.
4) Prinsip profesionalisme
Pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka yang ahli di bidangnya, baik secara administratif, finansial, dan lain-lain. Selain keahlian, rasa tanggung jawab dan kesungguhan melaksanakan tugas juga dituntut pada para pengelola. Semuanya akan sempurna bila disertai sifat amanah dari para pengelola, sehingga hasil yang akan dicapai bisa diwujudkan.
5) Prinsip kemandirian
Dengan terwujudnya prinsip profesionalisme, pada saatnya Badan Amil Zakat akan menjadi lembaga yang mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara tepat guna dan berhasil guna yang optimal, tanpa menunggu bantuan dari pihak lain.
d. Tugas dan Fungsi Badan Amil Zakat.
Berdasarkan pasal 8 Undang-undang No 38 tahun 1999, tugas pokok dari Badan Amil Zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Sementara fungsi Badan Amil Zakat berdasarkan keputusan bersama Menteri dalam negeri dan menteri agama No 29 tahun 1991/47 tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat pasal 6, bahwa fungsi utama dari Badan Amil Zakat adalah sebagai wadah pengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat infak dan shadaqah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional.
Jadi peran Badan Amil Zakat adalah sebagai pengumpul zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas pemberitahuan muzakki dimana perhitungannya dilakukan sendiri oleh muzakki apabila ia mampu. Jika tidak, perhitungan diserahkan pada Badan Amil Zakat. Setelah zakat dikumpulkan, zakat tersebut didayagunakan untuk kepentingan masyarakat yang berhak menerimanya (mustahiq). Namun, khusus bagi zakat harta, pendayagunaan zakat harus diorientasikan pada usaha yang bersifat produktif. Hal ini bertujuan supaya para mustahiq tidak terdidik menjadi masyarakat yang konsumtif. Dengan memproduktifkan zakat yang diperoleh, diharapkan perekonomiannya berubah sehingga untuk selanjutnya dia tidak lagi sebagai mustahiq namun sebagai muzakki.
Hal ini berbeda dengan zakat fitrah, yang memang bertujuan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Namun, apabila setelah dibagikan pada fakir miskin untuk kebutuhan hari raya zakat masih tersisa, maka zakat boleh di gunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif.
e. Struktur Organisasi
Badan Amil Zakat merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang memiliki struktur organisasi dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota sampai tingkat desa dan kelurahan. Pengurus Badan Amil Zakat terdiri dari unsur ulama, cendekiawan dan tokoh masyarakat formal dan non formal.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri agama Nomor 581 tahun 1999 pasal 3, 4, 5, dan 6, susuna organisasi Badan Amil Zakat sekurang-kurangnya terdiri dari unsur :
1) Dewan Pertimbangan atau Unsur Pembina.
Dewan pertimbangan terdiri dari pemerintah, baik tingkat puat maupun tingkat daerah. Pembina tingkat pusat adalah Menteri Agama dan tingkat daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala Desa /Lurah. Selain pemerintah daerah, khusus untuk tingkat daerah pembinaan terhadap Badan Amil Zakat dibantu pula oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama untuk tingkat Propinsi, Kepala Kantor Departemen Agama di tingkat Kabupaten, Kepala Kantor Urusan Agama untuk tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan.
2) Komisi Pengawas atau Unsur Pengawas.
Komisi Pengawas ditunjuk oleh pemerintah atau oleh pengurus Badan Amil Zakat sendiri.
3) Badan Pelaksana Unsur Pelaksana.
Badan Pelaksana adalah pengurus harian yang bertugas mengumpulkan dan menyalurkan atau mendayagunakan harta zakat untuk umat Islam. Unsur pelaksana ini bisa terdiri dari para ulama, cendikiawan dan tokoh masyarakat. Seluruhnya terintegrasi dalam sebuah struktur kepengurusan Badan Amil Zakat yang kompak, loyal, dan bertanggung jawab.
Badan Amil Zakat berperan penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena, zakat adalah salah satu struktur sosial dalam masyarakat Islam yang bersifat fungsional. Maksudnya, keberadaan zakat berfungsi terhadap sistem sosial lainnya, yaitu masyarakat yang mempunyai kewajiban berzakat (muzakki) dan yang berhak menerimanya (mustahiq). Tujuan ini akan terlaksana secara efektif dengan adanya lembaga yang memiliki tugas-tugas yang bertujuan untuk dijalankannya perintah membayar zakat, yaitu Badan Amil Zakat. Diantara tugas Badan Amil Zakat, sebagaimana telah diuraikan diatas, adalah mengumpulkan zakat dari para muzakki. Supaya proses pengumpulan ini berjalan lancar dengan dibarengi kesadaran dari para muzakki, prinsip pemaksaan belum bisa diterapkan mengingat kultur sosial masyarakat Indonesia saat ini. Maka, dalam Undang-Undang zakat, solusi berupa usaha penyadaran adalah pilihan tepat. Jika upaya penyadaran berhasil, Badan Amil Zakat merupakan pilihan dari para muzakki untuk menyalurkan zakat. Secara langsung, Badan Amil Zakat sebagai salah satu struktur sosial akan memberikan kontribusi besar dalam upaya menyejahterakan masyarakat, dalam hal ini mustahiq. Sebaliknya, jika struktur sosial ini tidak fungsional maka ia akan hilang atau tidak ada dengan sendirinya. Dapat kita gambarkan dalam bagan berikut :

Tidak ada komentar: